BLH Kota Probolinggo    "SI JUPPE"   S emangat,  I novatif,  J u jur,  P rofesional,  P e duli

Satu Jiwa Satu Pohon Antar Raih Kalpataru

HALAMAN rumahnya di Perumahan Bromo Permai, Jl. Kinibalu I/22, Kel. Ketapang, Kec. Kademangan, Kota Probolinggo tidak terlalu luas. Namun sejumlah tanaman keras dan bebungaan tampak tumbuh subur. Sebuah instalasi pengolahan kompos sederhana terletak di pojok teras. Bukan sepetak tanaman dan pengolahan kompos itu yang mengantarkan Bu Endang –demikian murid-murid di SMAN 1 memanggilnya, meraih penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan. Areal yang selama ini menjadi perhatian sekaligus bidang garapnya jauh lebih luas yakni, kawasan pantai utara. Juga sejumlah sekolah di Kota Probolinggo hingga di Surabaya. Keprihatinan Endang terhadap rusaknya ekosistem pantai terbersit sejak 1991 silam. Saat itu, guru biologi dan pendidikan lingkungan di SMAN 2 mendampingi suaminya, Matno yang menjadi Lurah Ketapang.

Kebetulan Ketapang merupakan salah satu kelurahan di Kota Probolinggo yang mempunyai garis pantai selain Pilang, Sukabumi, Mayangan, dan Mangunharjo. “Istri sering saya ajak blusukan ke kawasan pantai, mengunjungi rumah-rumah nelayan,” ujar Matno. Endang mengaku prihatin karena sebagian garis pantai gundul, tidak ada tanamannya. Bersama suaminya, ia kemudian mengumpulkan warga terutama nelayan agar mau peduli terhadap rusaknya mangrove (Phiziphora) di Ketapang. “Karena suami saya lurah, memudahkan saya mengumpulkan warga di balai kelurahan,” ujarnya.

Tidak hanya warga Ketapang yang dikumpulkan. Para nelayan dari sejumlah desa yang selama ini menambatkan perahu di pantai Ketapang pun diajak memperhatikan mangrove. ’’Awalnya memang tidak mudah mempengaruhi warga soal pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan,” ujar Endang. Melalui berbagai pertemuan, Endang pun membeberkan fungsi hutan mangrove sebagai sabuk hijau yang melindungi pantai dari abrasi (pengikisan). Juga dijelaskan, hutan mangrove yang lestari memberikan nilai tambah bagi warga dan nelayan. Soalnya, hutan mangrove menjadi tempat berkembang biaknya ikan dan udang. “Saya katakan, kalau mangrovenya rimbun, nelayan tidak sulit mencari ikan, kepiting, dan udang,” ujarnya.

Endang mengaku semakin bersemangat setelah melakukan studi banding di Sawungkuwuh, Bali, yang hutan mangrove-nya terawat dengan baik. Difasilitasi JICA Jepang, hutan mangrove di Sawungkuwuh yang terdiri atas 1.200 jenis tanaman tumbuh subur. Sebenarnya di pantai Probolinggo jenis mangrove-nya juga beragam. Bahkan ada jenis mangrove bogem yang buahnya besar. ’’Saat saya masih menjadi lurah, sejumlah warga terkadang mengonsumsi buah mangrove bogem itu sebagai pengganti nasi,” ujar Matno.

Memang sempat muncul cibiran, hanya warga yang kelaparan (miskin) yang makan nasi dari buah mangrove. Untuk menghilangkan perasaan minder mengonsumsi buah mangrove, Endang menggandeng sejumlah warga untuk mengolah buah mangrove menjadi jajanan dan minuman. ’’Kebetulan ada warga Ketapang namanya Bu Lis, yang pandai mengolah buah mangrove menjadi kue, kolak, dan sirup,” ujar Endang.

Antar Adiwiyata
Tidak hanya kepada warga, Endang pun gencar mengajak murid-muridnya di SMAN 2 menanam mangrove. Melalui program bertajuk ’’sajisapo” (satu jiwa satu pohon), Endang mengajak semua orang rajin menanam pohon, di mana saja. Program ini kemudian dikembangkan di kalangan guru menjadi ’’sagusapo” (satu guru satu pohon). Endang pun berhasil mengantarkan SMAN 2 meraih penghargaan Adiwiyata (sekolah berwawasan lingkungan) tiga tahun berturut-turut. Aktivitas Endang semakin padat dengan membina lingkungan di SMAN 2, SMAN 1, dan SMAN 4.

Ketekunan guru yang sejak 2009 lalu pindah ke SMAN 1 Kota Probolinggo berbuah manis. Ia meraih penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, 8 Juni lalu. Bersama siswa dan masyarakat, Endang berhasil menanam 20 ribu mangrove. Maret 2010 lalu, Endang bersama petani yang tergabung dalam Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kota Probolinggo juga menanam 5 ribu mangrove. Keberhasilan mengantarkan SMAN 2 meraih Adiwiyata membuat SMA PGRI Surabaya meminta Endang menjadi pembina lingkungannya. “Tidak hanya sekadar teori, para siswa SMA PGRI saya ajak menanam mangrove di pantai Tambakwedi, Surabaya,” ujarnya.

Sejumlah murid dan guru sempat ragu, apakah pantai Tambakwedi bisa ditanami mangrove. "Pokoknya tanam saja, kalau mati tanami lagi, akhirnya berhasil menanam 30 ribu mangrove di Tambakwedi," ujar Endang. Bagi Endang menanam mangrove di pantai jauh lebih mudah dibandingkan reboisasi di kawasan lain. Di pantai, tidak perlu menggali tanah, pohon mangrove bisa langsung dibenamkan ke dalam lumpur. Tanaman mangrove juga tidak perlu disiram karena tumbuh di kawasan pasang-surut.

’’Yang repot paling-paling hanya harus berjalan di lumpur di tepi pantai,” ujar Endang. Meski demikian, mangrove yang ditanam harus dicek tiga bulan kemudian atau paling lambat setengah tahun. Dari sekian mangrove yang ditanam, biasanya yang potensial hidup sekitar 60-70%. Mangrove kecil biasanya mati karena faktor alam seperti hempasan gelombang dan serangan tiram. “Kalau ada tanaman mati, segera ganti dengan tanaman baru,” ujarnya.

Ditanya apakah kondisi hutan mangrove di Probolinggo sekarang sudah bagus, Endang mengatakan, belum menyeluruh. ’’Masih banyak kawasan pantai yang gundul, sebagian mangrove juga rusak,” ujarnya. Yang jelas Endang bersama suaminya, mengaku, akan terus menanam pohon terutama mangrove. Namun tugas sebagai guru, demikian juga Matno sang suami yang PNS di Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Probolinggo tetap diutamakan. ’’Mungkin kalau nanti pensiun, saya dan suami lebih punya banyak waktu,” ujar perempuan kelahiran 24 Agustus 1960 silam itu. Sumber Berita

No comments:

Post a Comment

Informal Meeting Forum (IMF)
Dewan Pembangunan Berkelanjutan (DPB)
Forum Jaringan Manajemen Sampah (FORJAMANSA)
Paguyuban Eco Pesantren
Paguyuban Kader Lingkungan (PAKERLING)
Paguyuban Putri Lingkungan (PUTLING)
Kelompok Masyarakat Pemilah Sampah (POKMAS)
Paguyuban Peduli Sampah (PAPESA)
Penyandang Cacat Peduli Lingkungan Kota Probolinggo (PECEL KOPROL)
Komunitas Pelestari Keanekaragaman Hayati (KOMTARI KEHATI)
Paguyuban Penarik Gerobak Sampah Cekatan Riang Inovatif Amanah (PGS CERIA)
Paguyuban Abang Becak Peduli Lingkungan (ABPL)

Pencarian Artikel

Jumlah Kunjungan

About Me

My photo
By the middle of 2005, the management of environment in Probolinggo city was implemented by 2 (two) units which were subdivision for public cleaning services and parks of Public Works Agency of Probolinggo City and the Office of Environment of Probolinggo City. But in August 2005, considering to the aspects of effectiveness in administration, coordination, budget management dan program operations, then those two units were merged into 1 (one) new governmental institution namely the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City. Then, in accordance to the institutional restructure of central and regional government, on July 1st 2008, the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City was changed into the Environment Agency (BLH) of Probolinggo City.