BLH Kota Probolinggo    "SI JUPPE"   S emangat,  I novatif,  J u jur,  P rofesional,  P e duli

Gelar Pelatihan, Rangsang Pertumbuhan UKM Baru

Pelepah pisang biasanya hanya kita gunakan sebagai alas saat membakar sate atau sebagai penyekat di pintu rumah kita saat banjir tiba-tiba menyerang, bahkan sering kali pelepah pisang kita tebang dan kita buang begitu saja tanpa ada nilai guna maupun nilai jual sedikitpun. Dengan demikian, limbah pelepah pisang bisa menjadi sebuah permasalahan baru. Limbah pelepah menjadi sampah dan bahkan bila dibuang sembarangan ke sungai dapat menjadi penyebab banjir (bukan sebagai penangkal banjir seperti semula, red.). Masalah sampah bisa menjadi masalah yang rumit jika tidak dikelola dengan baik. Tak terkecuali di Kota Probolinggo sendiri, masalah sampah juga akan menjadi sebuah permasalahan yang pelik jika tidak dipikirkan mulai sekarang.

Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Daerah Kota Probolinggo, Drs. H. Johny Haryanto, M.Si. saat memberi sambutan pada Pelatihan Daur Ulang Pelepah Pisang dan Kertas yang diadakan oleh UPT IPLH di Taman Wisata Studi lingkungan (TWSL), Selasa (9/11). “Luas TPA Kota Probolinggo itu 4 ha, sementara per harinya penduduk Kota Probolinggo menghasilkan sampah sebanyak 4m3. Maka, rasanya tak butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk menutup TPA jika sampah tersebut tidak kita tangani sejak dini.”

Melalui proses daur ulang, yang merupakan salah satu solusi penanganan sampah, sampah atau barang bekas diharapkan dapat diolah kembali menjadi barang baru yang memiliki nilai guna, nilai tambah serta nilai jual. Proses daur ulang pun diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan baku dan energi, mengurangi polusi dan kerusakan lahan.

“Adanya pelatihan ini, setidaknya dapat meminimalisir sampah yang masuk ke TPA. Ujung-ujungnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi pengangguran serta kemiskinan. Kalau dulu ada sebuah semboyan “Buanglah sampah pada tempatnya”, kini konsep berpikir kita harus diganti dengan ‘Kumpulkan sampah” lanjut Sekda Johny dalam sambutannya.

Pelatihan pengolahan pelepah pisang ini adalah program lanjutan yang dilakukan oleh UPT IPLH dimana beberapa waktu yang lalu sempat menggelar pelatihan pembuatan briket dari serbuk kayu. Tujuannya sama, memanfaatkan kembali hal yang ada dan tidak terpakai di sekitar kita sehingga dapat mengurangi timbunan sampah, mengubahnya menjadi barang yang bernilai ekonomis, menjadi sumber alternatif dalam menyokong pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Yang tampak sedikit berbeda dalam pelatihan yang digelar kali ini adalah undangannya. Kalau pada pelatihan terdahulu lebih difokuskan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), kini pelatihan yang mengundang 100 orang dari seluruh elemen masyarakat ini difokuskan pada ibu-ibu rumah tangga.

“Pelatihan kali ini kami fokuskan pada ibu-ibu rumah tangga, tujuannya adalah selain memanfaatkan bahan yang ada di sekitar lingkungan mereka, adalah untuk merangsang pertumbuhan UKM baru” ungkap Ir. Fitriawati, MM., Kepala UPT IPLH saat ditemui oleh Suara Kota di sela-sela acara.

Pelatihan Daur Ulang Pelepah Pisang yang digelar dengan tema Melalui Daur Ulang Sampah Kita Tingkatkan Kreatifitas, Pemberdayaan dan Ekonomi Masyarakat ini menggunakan dana dari bagi hasil cukai tembakau.

“Memang tidak mudah bagi pemerintah untuk bisa langsung menghapus industri rokok atau tembakau. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan di sana. Utamanya masalah tenaga kerja. Untuk itu, melalui Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 51 Tahun 2009, dana tersebut kita serap dan kita kembalikan lagi ke masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat dan kepedulian lingkungan” tutur Fitriawati.

Lebih lanjut Fitriawati menjelaskan, pelepah pisang dipilih dalam pelatihan kali ini karena pelepah pisang relatif mudah didapat dan cenderung jarang dimanfaatkan sehingga diharapkan pelatihan ini dapat mengembangkan kreatifitas masyarakat dalam berinovasi. Diharapkan pula, para kader lingkungan yang datang dan diundang kiranya dapat menyebarluaskan informasi tentang pemanfaatan pelepah pisang ini di lingkungan masing-masing.

Suci Luarmi, pemilik Yumeku Art & Handycraft, Gresik sebagai nara sumber dalam pelatihan tersebut memberikan dasar-dasar pemanfaatan pelepah pisang utamanya untuk membuat kotak tisu, piring buah dan tudung saji. Suci menjelaskan jenis pelepah pisang apa saja yang bagus untuk kerajinan. “Untuk kerajinan, pelepah pisang yang baik adalah pelepah pisang raja. Tekstur dan kelenturan pelepah pisang raja ini sangat baik untuk dibuat aneka kerajinan. Kalau tidak ada, bisa diganti dengan (pelepah, red.) pisang kepok atau (pelepah, red.) pisang susu,” jelas pengrajin yang sukses menyelenggarakan pameran di berbagai kota di Indonesia dan produknya telah merambah pasar mancanegara seperti Italia, Belanda dan Perancis ini saat memberi seminar.

Endang Sulistyoningsih, peraih Kalpataru 2010 untuk kategori Pembina Lingkungan, yang kali ini menjadi salah satu peserta pelatihan mengatakan bahwa pelatihan ini sangat bagus bagi masyarakat, karena masyarakat kembali dididik dan diingatkan untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. “Kegiatan ini juga merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat. Sebuah konsep pembangunan yang berbasis masyarakat” terang Endang. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Murahnya Briket Dari Serbuk Kayu

Meski konversi minyak tanah (mitan) ke elpiji telah digelindingkan tidak menutup kemungkinan warga menggunakan bahan bakar alternatif. Salah satu bahan bakar yang murah dan aman untuk memasak adalah serbuk kayu dan serbuk arang kayu. “Serbuk kayu harganya murah bahkan sering dibuang dan dibakar. Padahal bisa disulap menjadi briket untuk memasak,” ujar Fitriawati SSos MM, kepala UPT Informasi dan Pendidikan Lingkungan Hidup (IPLH) pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Probolinggo. Ditemui di sela-sela pelatihan kepada 100 pedagang makanan-minuman dan kader lingkungan di Taman Wisata dan Studi Lingkungan (TWSL), Selasa (26/10), Fitri menunjukkan cara membuat briket. Bahannya sangat murah, serbuk kayu, lem kanji (dari tapioka), cetakan dari pipa PVC ukuran 1 dim (inchi) sepanjang 10 Cm.

Serbuk kayu yang dicampur dengan lem kemudian dicetak, mirip orang membuat kue puthu. “Setelah itu, briket berbentuk silinder itu dijemur di terik matahari, sudah bisa digunakan memasak,” ujar Fitri. Diakui kompor yang digunakan untuk memasak memang berbeda dengan kompor minyak tanah. Cara kerja kompor briket serbuk kayu itu mirip anglo. “Agar mudah menyalakan, briket direndam dalam minyak tanah atau spiritus,” ujar Puguh Priyosudibyo, narasumber pelatihan.

Selain dari serbuk kayu, briket bisa dibuat dari serbuk arang kayu. “Arang serbuk kayu dibuat dengan pembakaran tidak sempurna terhadap serbuk kayu,” ujar Puguh. Puguh menunjukkan alat sederhana untuk membakar arang yang terbuat dari blek (kaleng) bekas biskuit. Serbuk kayu dimasukkan dalam blek yang dindingnya dilubangi dengan paku. Saat serbuk kayu mulai terbakar, lubang-lubang pada dinding blek ditutup rapat. Maka jadilah arang serbuk kayu yang siap diolah menjadi briket serbuk arang. “Panas yang dihasilkan briket biorang lebih tinggi dibandingkan kayu bakar biasa dan nilai kalornya mencapai 5.000,” ujar Puguh.

Sebagai perbandingan, kayu kering menghasilkan panas 4.491,2 kalor/gram dan batubara muda (lignit) 1.887,3. Sementara batubara 6.999,5, minyak bumi (mentah) 10.081,2, bahan bakar minyak 1.0224,6, dan gas alam 9.722.9. Dibandingkan minyak tanah non-subsudi yang harganya Rp 7.500-8.000 per liter, briket serbuk kayu jauh lebih murah. “Soalnya serbuk kayu dapat diperoleh secara gratis, kalau harus beli, satu sak hanya Rp 7.000,” ujar Puguh.

Satu sak serbuk kayu bisa menjadi ratusan potong briket. “Sebanyak 8-10 potong briket bisa digunakan untuk memasak hingga 4 jam, irit kan,” ujarnya. Puguh mengakui, briket serbuk kayu masih menimbulkan asap. “Kalau ingin asapnya sedikit, ya gunakan briket serbuk arang,” ujarnya.

Sejumlah peserta pelatihan mengaku bakal menggunakan briket serbuk kayu untuk memasak. “Briket serbuk kayu murah untuk menghangatkan bakso yang saya jual,” ujar seorang pedagang bakso keliling. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

BLH Kota Probolinggo Menggelar Pelatihan Pembuatan Briket

Ketersediaaan sumber energi alam yang semakin defisit membutuhkan pemahaman dan juga upaya konkrit dari pemerintah dan masyarakat untuk menghematnya, sehingga dampak negatif dari krisis energi dapat diantisipasi secara dini. Untuk upaya itulah, maka Selasa(26/10) bertempat di Taman Wisata Studi Lingkungan (TWSL), Jalan Basuki Rahmat No. 62 Probolinggo, Pemerintah Kota Probolinggo cq. Badan Lingkungan Hidup (BLH), mengajak masyarakat untuk memanfaatkan limbah terbuang, utamanya limbah terbuang dari sisa usaha penggergajian untuk diolah menjadi briket yang pemanfaatannya dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk aktivitas memasak pada rumah tangga melalui Pelatihan Pembuatan Briket sebagai Energi Alternatif.

Acara dibuka oleh Wakil Walikota Probolinggo, Drs. H. Bandyk Soetrisno, M.Si. sekitar pukul 08.30 WIB dan dihadiri oleh para Kepala SKPD di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Probolinggo. Peserta acara tersebut terdiri dari 100 orang yang berasal dari para Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Kader Lingkungan pada kelurahan-kelurahan di Kota Probolinggo. Mengawali sambutannya, Wawali Bandyk Soetrisno menyampaikan sejarah kebijakan pemerintah dalam penggunaan minyak tanah (mitan) menjadi elpiji. Dimana keterbatasan ketersediaan bahan bakar migas khususnya mitan dan juga semakin melonjaknya harga minyak mentah dunia, mau tidak mau, mengharuskan pemerintah untuk menarik subsidi terhadap mitan itu sendiri. “Minyak tanah itu bukannya tidak ada. Ada, tapi harganya sudah sangat mahal. Untuk saat ini, per liternya, harganya bisa mencapai Rp 7.000,- sampai Rp 8.000,-. Karena itu tadi (melonjaknya harga minyak mentah dunia, red.), pemerintah menarik subsidi untuk minyak tanah tersebut. Kalau diterus-teruskan, pemerintah menyokong pemberian subsidi dalam APBN-nya, maka anggaran negara untuk kegiatan yang lain, bidang pendidikan misalnya, pastinya tidak dapat terlaksana dengan baik, sesuai dengan tujuannya,” jelas Bandyk.

Dalam kesempatan tersebut, Wawali juga mengingatkan kepada para peserta pelatihan agar informasi yang diterima dalam pelatihan kali ini, selain berguna bagi diri sendiri, juga dapat diajarkan dan berguna pula bagi warga masyarakat di lingkungan sekitar para peserta pelatihan. Narasumber dalam pelatihan ini adalah Ketua KIM Le Ollena Kota Probolinggo, Drs. Puguh Priyo Sudibyo, sosok yang pernah turut andil mengharumkan nama Kota Probolinggo dengan meraih prestasi gemilang sebagai juara umum dalam Pekan KIM (Kelompok Informasi Masyarakat) tahun 2009 di Malang. Sedang moderatornya adalah penerima Kalpataru 2010 kategori Pembina Lingkungan, Endang Sulistyoningsih, yang juga masih aktif bekerja di Dinas Pendidikan sebagai guru mata pelajaran Biologi di SMA Negeri 1 Kota Probolinggo.

Setelah paparan secukupnya dari narasumber, peserta langsung diajak untuk praktek dengan aneka bahan dan alat yang sebelumnya sudah disediakan oleh panitia. Dalam kegiatan tersebut, seluruh peserta tampak sangat antusias untuk mengikuti pelatihan yang diadakan. Metode sersan (serius tapi santai) khas Puguh Sudibyo saat memberi pelatihan rupanya sangat diminati oleh para peserta pelatihan. Bahkan tak jarang, gurauan segar nan menghibur dan informatif tersebut disambut oleh peserta dengan gelak tawa. “Ini memang program tahunan yang diselenggarakan oleh dinas, tapi tidak melulu pelatihan pembuatan briket saja. Kita menggelar pelatihan tiap tahunnya, yang disediakan bagi masyarakat dan juga kader lingkungan. Pastinya nanti pelatihan tersebut akan disesuaikan dengan kondisi aktual yang ada,” jelas Ir. Fitriawati, MM, Kepala UPTD Informasi & Pendidikan Lingkungan Hidup.

Acara pelatihan tersebut berakhir sekitar pukul 13.00 WIB. Para peserta mendapatkan kompor briket dan contoh briket arang yang sudah jadi dari panitia. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Pupuk Organik Kini Semakin Diminati

Tren pertanian organik dan semiorganik juga berpengaruh terhadap kebutuhan pupuk jenis organik. Permintaan pupuk yang dibuat dari sampah organik dan kotoran ternak (tlethong) pun “laris manis”. “Kami sampai kewalahan melayani permintaan pupuk organik dari Sidoarjo, belum lagi di Probolinggo sendiri,” ujar Saiful Badri, pembuat pupuk organik di Kel. Jrebeng Lor, Kec. Kedopok, Kota Probolinggo. Dikatakan pengusaha pupuk di Sidoarjo meminta kiriman 8 ton pupuk organik/dua minggu. “Saya dengar di Sidoarjo, pupuk organik kiriman saya diolah menjadi pupuk granule (butiran, Red.) yang kemudian dijual lagi ke Makassar, Sulsel,” ujarnya. Saiful yang juga Ketua Kelompok Tani Harapan Jaya menambahkan, tren pertanian modern mengarah ke organik. “Sebenarnya, kami membuat pupuk organik untuk melayani anggota kelompok tani sendiri sebanyak 50 orang dengan lahan 60 hektare,” ujarnya.

Dengan 40 ekor sapi yang dimiliki anggota kelompok tani, Saiful memproduksi pupuk organik. “Ternyata banyak petani dan pengusaha dari luar daerah juga membeli pupuk organik kami,” ujarnya. Selain dibuat dalam bentuk padat, pupuk organik “made in” Jrebeng Lor itu berupa cairan. Pupuk padat dibuat dengan bahan baku tlethong sebanyak 1 ton dicampur air 200 liter dan zat pengurai. “Zat pengurai ini saya peroleh dari I Putu Kamyang dari IPB Bogor,” ujarnya.

Pupuk organik padat itu dijual dengan harga Rp 425/kg. Selain itu Saiful mengaku membuat pupuk organik cair dari air seni (kemih) sapi, air kelapa, dan limbah cair tahu. “Komposisinya, kemih sapi 40 liter, air kelapa 40 liter, dan 120 liter limbah cair tahu,” ujarnya. Untuk menampung kemih sapi, kandang ternak disemen (dicor) dan dilengkapi saluran drainase. “Kalau air kelapa gampang dicari di pasar, tinggal pesan ke pedagang yang jual kelapa kupas. Air kelapa biasanya kan dibuang percuma,” ujar Saiful.

Banyaknya permintaan pupuk organik juga diakui Ir H Suhadi MM, pemilik peternakan sapi di Tegalbero, Kel. Wirogunan, Kec. Purworejo, Kota Pasuruan. Peternak yang mempunyai 140 ekor sapi pedaging Australia, 200 kambing dan domba berbagai jenis (ettawa, morino, samben, ekor gemuk, dan Garut) dan juga ratusan kelinci itu mengaku, kotoran ternaknya laris manis. “Tlethong di peternakan saya tidak terbuang percuma, setelah diolah menjadi pupuk organik, laku dijual Rp 425 per kilogram,” ujarnya, Jumat (24/9) pagi tadi. Alumni Fakultas Pertanian (FP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengaku kewalahan melayani permintaan pupuk organik.

Tlethong juga bisa diolah menjadi gas methane. “Gas methane dari tlethong digunakan menggerakkan gen-set yang menghasilkan 1.200 Watt listrik, gratis untuk warga sekitar,” ujarnya. Sementara itu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengolahan Sampah dan Limbah di bawah Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Probolinggo setiap bulan melempar 200 sak pupuk organik ke pasaran. Setiap sak berisi 20 Kg pupuk yang berasal dari sampah organik ang kemudian dihancurkan dengan zat pengurai. Pupuk dari sampah buangan rumah tangga itu dijual dengan harga Rp 750/Kg.

Dinas Pertanian mencatat, dari luas total wilayah Kota Probolinggo, 25.000 hektare, sebagian besar (62,47%) merupakan lahan pertanian. Dominasi lahan pertanian ini menuntut ketersediaan pupuk yang tinggi untuk pengelolaan pertanian. Setiap tahun, petani di Kota Probolinggo membutuhkan pupuk sekitar 3.000 ton pupuk pabrikan dan sekitar 12.000 ton pupuk organik. Kepala UPT Pengolahan Sampah dan Limbah, Lucia Aries menduga, naiknya permintaan pupuk kompos yang diproduksi di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Sukabumi dan TPS Ungup-Ungup itu karena dipicu mahalnya pupuk pabrikan.

Dari total sekitar 40 ton sampah yang masuk TPA Sukabumi setiap harinya, sebagian besar didominasi sampah organik (70%), sementara sisanya adalah sampah non-organik (30%). Dikatakan tidak semua sampah organik yang masuk TPA bisa kami olah menjadi kompos. Yang menjadi permasalah, sampah yang dihasilkan rumah tangga dan pasar, bercampur baur antara sampah organik dan non organik. Sehingga pengelolaan sampah harus melalui pemilahan. ”Sampah organik dan non organik dipisahkan. Organik untuk bahan pembuatan kompos dan non organik didaur ulang,” ujarnya.

Unit pengolahan sampah di TPA Sukabumi setiap bulan menghasilkan sekitar 7 ton kompos. Sementara itu di TPS Ungup-Ungup, sekitar 600 Kg - 1,5 ton ton sampah bisa diolah menjadi 180-450 Kg kompos per hari. Selain banyak dibeli petani sayur dan tanaman hias di lokal Probolinggo, kompos made in Probolinggo itu dijual hingga Jember dan Banyuwangi. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Apel Pencanangan Gerpas Berseh di Aloon-Aloon Kota Probolinggo

Hari Jumat (17/9) bertempat di Aloon – Aloon Kota Probolinggo, telah berkumpul semua pegawai dari setiap SKPD Kota Probolinggo untuk mengikuti Apel pagi dalam memperingati Pencanangan Gerakan Pasar Bersih dan Sehat (Gerpas Berseh). Dengan memakai seragam olah raga sesuai ciri khas masing – masing SKPD, peserta apel Gerpas Berseh mengikuti apel dengan rasa antusias sampai selesai acara. Selain pegawai Kota Probolinggo, apel dihadiri oleh Walikota Probolinggo, HM. Buchori juga selaku inspektur upacara, Wakil Walikota Probolinggo, H. Bandyk Soetrisno, dan para Muspida Kota Probolinggo. HM. Buchori memberikan sambutan, “Alhamdullah kita semua telah malaksanakan puasa Ramadhan dan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1431 H, dengan begitu kewajiban kita untuk saling memaafkan antar sesama harus tetap dilakukan, karena Allah SWT sangat mencintai hambanya yang selalu menyambung salih silahturohmi”.

“Dalam kegiatan Apel Gerpas Berseh ini, kita semua harus sadar dan selalu menjaga kebersihan dimanapun dan kapanpun kita berada sebagai tanda kita sebagai umat yang beriman. Saya harap semua petugas Pasar selalu memperhatikan untuk memberi tempat sampah, tujuannya supaya para pedagang maupun pengunjung dapat membuang sampah pada tempatnya sehingga lingkungan pasar menjadi bersih”, tambah HM. Buchori.

Acara dilanjutkan dengan pemberian pohon secara simbolis kepada kepala UPTD Pasar baru, Gotong Royong, dan Pasar Wonoasih, dengan harapan dapat mengembangkan penghijauan dilingkungan pasar, dengan begitu pasar menjadi asri, segar dan sehat. Yang terakhir diteruskan dengan pelepaskn burung oleh HM. Buchori, H. Bandyk Soetrisno dan para Muspida Kota Probolinggo. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Hutan Kota Probolinggo Baru Mencapai 18 Persen

Kawasan hutan dan ruang terbuka hijau di Kota Probolinggo seluas 1.004,7 ha atau 18,4% dari total luas wilayah kota 5.667 hektare. ”Luas hutan kota di Kota Probolinggo melebihi batas minimal yang ditetapkan pemerintah yakni, minimal 10 persen dari luas wilayah,” ujar Wawali Probolinggo, Drs Bandyk Soetrisno MSi di ruang Sabha Bina Praja, Pemkot Probolinggo, Minggu (20/6). Hal itu diungkapkan saat menerima tim penilai pusat lomba penghijauan dan konservasi alam kategori hutan kota 2010. Seperti diketahui, Kota Probolinggo lolos ke tingkat nasional dalam lomba memperebutkan penghargaan Wana Lestari itu. Menurut UU No. 26/2007 tentang penataan ruang pasal 29 disebutkan proporsi ruang terbuka hijau publik minimal 20 persen dari luas kota.

Bandyk menambahkan, keberadaan hutan kota berperan penting dalam penyerapan gas buang (emisi) kendaraan bermotor. Setiap 4 pohon bisa menyerap emisi 1 mobil. Sisi lain, berdasarkan pengamatan di 10 ruas jalan, Kota Probolinggo dilintasi 62.715 kendaraan bermotor (mobil dan motor) setiap hari. “Sehingga dibutuhkan 2590.860 pohon, sementara luasan hutan kota 1.004,7 hektare atau setara dengan 401,880 pohon,” ujar wawali. Hutan kota seluas itu tersebar di berbagai kawasan mulai di permukiman, industri, tempat rekreasi, plasma nutfah (keanekaragaman hayati), perlindungan, hingga pengaman. ”Kami juga menggalakkan program Probolinggo Berkicau dengan sering melepas burung ke alam bebas,” ujar Bandyk.

Kepala Dinas Pertanian, Ir Achmad Sutardjo MSi menambahkan, keberadaan hutan kota juga tidak lepas dari peran masyarakat dan pabrikan. Dicontohkan, PT Kutai Timber Indonesia (KTI), perusahaan pengolahan kayu di kawasan pelabuhan Tanjung Tembaga, menggandeng Pemkot dan warga untuk menanam pohon. Lahan aset Pemkot di Kedungsupit seluas 4 Ha misalnya, ditanami sengon yang bisa menjadi bahan baku pabrik PT KTI. KTI juga memberikan bibit pohon dan biaya perawatan kepada warga. Dan kelak ketika pohon itu saatnya ditebang (5-6 tahun), PT KTI siap menampung (membeli)-nya.

Sementara itu Ketua Tim Penilai Pusat Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam, Ir Chaerudin MM mengatakan, even yang digelar Kementerian Kehutanan jangan dipandang sebatas ajang perlombaan. “Keberadaan hutan kota sangat bermanfaat bagi warga kota. Selain sebagai pemasok oksigen, hutan kota bisa menjadi sarana rekreasi dan bermain yang nyaman dan murah bagi warga kota,” ujarnya. Chaerudin mencontohkan, Kebun Raya Bogor sekarang menjadi objek wisata yang laris manis. “Warga kota ingin berlama-lama di Kebun Raya hanya karena ingin mengirup udara segar, yang tidak dijumpai di Jakarta,” ujarnya.

Dengan konsep pembangunan berwawasan lingkungan, kata Chaerudin, keberhasilan kota diteropong salah satunya dengan keberhasilan mewujudkan hutan kota. Kota semacam ini membuat betah penghuninya, juga nyaman bagi pendatang. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Adipura, Sebuah Tradisi Panjang

Momentum tanggal 5 Juni selain sebagai hari lingkungan hidup, menjadi sebuah hari yang paling ditunggu oleh hampir semua kepala daerah di Indonesia, yakni suatu hari yang juga ”bisa menentukan” masa depanya sebagai kepala daerah. Apakah mendapatkan penghargaan adipura ataukah tidak? Bagi daerah yang memperolehnya, akan menyambutnya dengan perayaan atas penghargaan lambang supremasi di bidang lingkungan hidup tersebut, bahkan perayaannya dilakukan dalam waktu sepekan ke depan dengan seluruh masyarakatnya.

Tetapi bagi daerah yang belum memperolehnya, akan menjadi bagian ”sejarah buruk” bagi perjalanan kepemimpinanya. Karena daerahnya akan mendapatkan sebutan baru yakni sebagai daerah terkotor. Juga akan menjadi titik balik kepercayaan masyarakatnya terhadap kepemimpinannya yang dianggap gagal membawa penghargaan ke daerahnya. Sebegitu besarkah adipura di mata masyarakat? Atau hanya sekedar sebuah simbol kepentingan kepala daerah yang tidak mengefek ke masyarakat? Bahkan adipura yang diharapkan sebagai reward bagi suatu daerah yang dalam memperlakukan lingkungan hidup sampai dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA)-nya, belum dipahami secara menyeluruh oleh para penguasa daerah tersebut.

Di balik event tersebut, apakah adipura sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat atau hanya sekedar sebuah perlombaan, begitu selesai penilaian selesai pula aktivitas yang menyertainya? Adipura kenyataanya belum memberikan kesadaran maksimal bagi manusia sebagai pengguna utama lingkungannya, yang seharusnya dijadikan kilas balik karena telah dibesarkan dan hidup berabad-abad di muka bumi. Kenyataannya pula, manusia telah membuatnya sebagai titik balik yang justru merusak lingkungan hidup sebagai penopang utama kehidupan bumi.

Persoalan bumi dan lingkungan hidup adalah persoalan hidup manusia, berarti juga berbicara keberadaan dan tindak lanjut hidup manusia di dunia, sehingga dari persoalan lingkungan itu manusialah yang harus bertanggung jawab pada keberadaan serta kelangsungan bumi dimasa yang akan datang. Sebab sudah sepantasnya kalau manusia yang hidup di muka bumi, manusia pulalah yang harus menyelamatkan bumi, rasanya naif bila kita serahkan pada hewan, atau tumbuhan-tumbuhan.

Manusia bukan hanya ”berkewajiban” untuk menjaga dan melestarikan bumi beserta lingkungan hidup yang ada di dalamnya, tetapi manusia juga ”berhak” untuk ikut berupaya menjaga seluruh ekosistem dan habitat di dalamnya. Hak itulah yang seharusnya dijadikan penyemangat umat manusia untuk melestarikan bumi ini dari kehancuran.

Cara pandang persoalan lingkungan selalu berbenturan, bahkan berseberangan dengan pemafaatan sumber daya alam yang menjadi trade mark. Pandangan yang salah, apabila masalah pelestarian lingkungan memiliki kesan tidak boleh melakukan dan pemanfaatan SDA, dalil pembenarannya adalah, masalah pelestarian lingkungan bukan berarti SDA tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan keuangan daerah, tetapi wajib memperhatikan daya dukung pada lungkungannya, sehingga dampak dari akses SDA mampu untuk memulihkan kembali kondisi dan kelestarian lingkungan hidup.

Pemerintah dan Lingkungan
Melihat kondisi kemajemukan manusia sebagai tonggak utama dalam penanganan masalah lingkungan, menjadi ujian tersendiri dalam menciptakan kondisi lingkungan hidup yang bersentuhan dengan kehidupan manusia. Sehingga menjadi sebuah persoalan tersendiri untuk mewujudkan pemerintah yang bersih yang bersinergis mewujudkan kondisi lingkungan hidup yang lestari dengan menggeneralisasikan pengelolaan lingkungan hidup melalui penjabaran kebijakan pada masyarakat agar mereka juga sadar akan makna penting lingkungan hidup melalui pendidikan yang berkelanjutan.

Sebagai ukuran konsistensi masyarakat dan pemerintah pada lingkungan hidup adalah, adanya korelasi terciptanya pemerintahan yang baik (good governance) dengan lingkungan hidup yang baik (good environment). Artinya pemerintahan bisa dikatakan good, bila mampu membuat kebijakan dan peduli pada lingkungan hidup. Mulai dari pemanfaatan sampai pada pengelolaan SDA dan lingkungan. Sebab apabila pemerintahan tidak peduli pada lingkungan hidup, maka keserakahan dan kesewenang-wenangan dalam mengeksploitasi SDA semakin tidak terkendali.

Logika ini sangat logis, mengingat pemerintahan sekarang dihadapkan pada Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sehingga kemandirian sebuah daerah saat ini ditentukan oleh pemerintahannya sendiri di daerah, kekhawatirannya adalah apabila daerah menjadi mandiri dan otonom, maka sebagai jalan satu-satunya bagi kehidupan daerah adalah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai pilar utamanya, yakni dengan memanfaatkan sebesar-besarnya SDA yang ada di daerahnya untuk kepentingan dan alasan kemandirian.

Ukuran yang konkrit adalah apabila pemerintah daerah dalam menangani SDA untuk mengejar “target” pendapatan daerah dengan baik dan benar, artinya ramah dan peduli pada lingkungan hidup, maka pemerintahan itu memiliki nilai baik (good govenance), tapi bila sebaliknya, dengan sama sekali tidak peduli pada lingkungan maka pemerintah itu adalah pemerintahan yang tidak adil, tidak demokratis, pemerintah yang berdosa dengan lingkungan, berkesimpulan pemerintah yang jelek dan kotor (bad governance).

Komoditas Lingkungan dalam Politik
Isu lingkungan dewasa ini menjadi trend, karena lingkungan hidup bisa dijual oleh negara demi kepentingan pembangunan. ”Kesadaran” negara akan lingkungan dimulai sejak adanya konvensi Rio de Janerio Brazil tahun 1992. Bahkan isu lingkungan menjadi rekomendasi Bank Dunia untuk mendapatkan bantuan. Ironisnya negara barat selalu vokal dengan kondisi lingkungan saat ini akibat kesalahan yang dilakukan dalam pengembangan industri dan teknologi, sehingga jalan satu-satunya secara politis memaksa negara berkembang agar peduli pada lingkungan sebagai penopang bumi di masa depan.

Generalisasi isu-isu lingkungan dalam dasawarsa terakhir menjadi momok bagi ketidaksiapan pemerintah kita. Hal ini bukan karena pemberlakuan undang-undang otonomi daerah saja, akan tetapi sudah dijadikan komoditas politik praktis, baik oleh partai yang berkuasa, maupun oleh para anggota legislaif. Komoditas itu selain untuk melegatimate kepentingan garis politik sekaligus sebagai senjata untuk menghantam rival politiknya dalam kapasitas permainan dan wacana politik bangsa.

Sebagian besar kerusakan lingkungan hidup karena kesalahan dalam menerapkan kebijakan dan dampak politik yang hanya mementingkan segolongan penguasa untuk melagalitas kekuasaannya. Sebagai contoh kebijakan yang dilakukan pada orde lama sampai orde baru, telah menjual SDA dan lingkungan dengan dalih untuk membiayai dana revolusi ataupun dana pembangunan (lihat kasus freepot).

Di sisi lain pembangunan ekonomi sebagai titik berat kehidupan telah berakibat pada eksploitasi besar-besaran pada SDA dengan memberikan kebebasan pada investor untuk melakukan mengeksploitasi SDA, mulai dari perusakan hutan dengan sistem HPH (Hak Pengelolaan Hutan) sampai dengan penambangan yang tidak ramah lingkungan dan lain sebagainya. Pemerintah telah sewenang-wenang, terutama pada hak-hak rakyat dengan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan pemerintah yang kuat, walaupun dengan mengorbankan SDA dan lingkungan.

Untuk itu maka pemerintahan saat ini dengan undang–undang otonomi daerah, hendaknya benar-benar merupakan ”alat pembersih” bagi pemerintah, karena otonomi daerah bukan untuk membagikan gula-gula manis yang hanya akan menciptakan raja-raja kecil, akan tetapi lebih pada pembagian kekuasaan, penerapan demokratisasi, desentralisasi dan dehumanisasi, agar tidak menjadi pemerintahan yang sentralistik.

Penerapan undang-undang otonomi daerah sekaligus untuk mengukur praktek-praktek hogemony rakyat dalam memanfaatkan SDA di daerah yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, sekaligus untuk mengukur pemerintahan yang bersih dari dosa-dosa lingkungan hidup. Yang menjadi persoalannya adalah, kesiapan lembaga-lembaga pemerintah yang belum optimal dalam ikut berupaya menciptakan keserasian lingkungan hidup.

Diantaranya adalah, pertama: Peran eksekutif daerah masih apatis dan skeptis pada lingkungan hidup. Walaupun dalam pengelolaan SDA melalui perencanaan, namun perencanaan yang dilakukan adalah bersifat teknis dan politis. Artinya SDA hanya dijadikan komoditas sesaat untuk menutupi kebutuhan daerah. Sedang perencanaan secara lingkungan hampir pasti tidak dilaksanakan, sehingga akan terjadi eksploitasi pada SDA yang tidak diimbangi dengan eksplorasi lingkungan hidup.

Kedua, peran legislatif, kesulitannya walaupun anggota dewan memiliki arti yang strategis tetapi belum dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mapan, karena hitungannya selalu dengan rumus poltik, sehingga bila divariabelkan dengan angka, terlebih peran lembaga ini dalam kenyataannya selalu diguncang dan tidak lepas dengan money politic dalam menjalankan fungsinya. Lebih parah lagi legislatif sebagai lembaga kontrol, dari 30 orang yang duduk di DPRD TK II paling hanya 2 sampai 3 orang saja yang tahu tentang lingkungan hidup.

Ketiga, peran yudikatif, dimana sistem hukum dan peradilan Indonesia belum mendukung kemandirian dan supremasi hukum, yang ada. Lembaga yudikatif banyak yang memerankan sebagai eksekutif, sehingga sebagai sebuah lembaga yang mandiri dalam penegakan hukum menjadi mandul dan tidak berdaya. Apapun katalisatornya dalam sebuah negara yang belajar arti demokrasi, kekuatan masing-masing lembaga pemerintahan menjadi penting, sebab lembaga-lembaga itulah sebagai pionir untuk mewujudkan dan mendidik masyarakat agar lebih mandiri transparan, demokratis dan jujur.

Di samping euforia kebebasan berserikat dimasyarakat akan menjadi bagian pula untuk melakukan koreksi pada ketiga lembaga pemerintahan tersebut, yakni dengan banyaknya stakeholder/LSM dalam melakukan sparing patner sekaligus sebagai presuare group pada ketiga kekuatan tersebut dalam menjalankan kebijakan pemerintahanya. Sehingga akan terwujut kebijakan penanganan lingkungan secara proposional sebagai pemerintahan yang bersih, transparan, sebagai implementasi dari pemerintahan yang baik. Walaupun kemungkinan perjalannya agak lambat, dengan kekuatan monitoring dan evaluasi dari forum-forum warga tersebut akan dapat merwujudkan good governance sekaligus ukuran dari good environment. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Satu Jiwa Satu Pohon Antar Raih Kalpataru

HALAMAN rumahnya di Perumahan Bromo Permai, Jl. Kinibalu I/22, Kel. Ketapang, Kec. Kademangan, Kota Probolinggo tidak terlalu luas. Namun sejumlah tanaman keras dan bebungaan tampak tumbuh subur. Sebuah instalasi pengolahan kompos sederhana terletak di pojok teras. Bukan sepetak tanaman dan pengolahan kompos itu yang mengantarkan Bu Endang –demikian murid-murid di SMAN 1 memanggilnya, meraih penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan. Areal yang selama ini menjadi perhatian sekaligus bidang garapnya jauh lebih luas yakni, kawasan pantai utara. Juga sejumlah sekolah di Kota Probolinggo hingga di Surabaya. Keprihatinan Endang terhadap rusaknya ekosistem pantai terbersit sejak 1991 silam. Saat itu, guru biologi dan pendidikan lingkungan di SMAN 2 mendampingi suaminya, Matno yang menjadi Lurah Ketapang.

Kebetulan Ketapang merupakan salah satu kelurahan di Kota Probolinggo yang mempunyai garis pantai selain Pilang, Sukabumi, Mayangan, dan Mangunharjo. “Istri sering saya ajak blusukan ke kawasan pantai, mengunjungi rumah-rumah nelayan,” ujar Matno. Endang mengaku prihatin karena sebagian garis pantai gundul, tidak ada tanamannya. Bersama suaminya, ia kemudian mengumpulkan warga terutama nelayan agar mau peduli terhadap rusaknya mangrove (Phiziphora) di Ketapang. “Karena suami saya lurah, memudahkan saya mengumpulkan warga di balai kelurahan,” ujarnya.

Tidak hanya warga Ketapang yang dikumpulkan. Para nelayan dari sejumlah desa yang selama ini menambatkan perahu di pantai Ketapang pun diajak memperhatikan mangrove. ’’Awalnya memang tidak mudah mempengaruhi warga soal pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan,” ujar Endang. Melalui berbagai pertemuan, Endang pun membeberkan fungsi hutan mangrove sebagai sabuk hijau yang melindungi pantai dari abrasi (pengikisan). Juga dijelaskan, hutan mangrove yang lestari memberikan nilai tambah bagi warga dan nelayan. Soalnya, hutan mangrove menjadi tempat berkembang biaknya ikan dan udang. “Saya katakan, kalau mangrovenya rimbun, nelayan tidak sulit mencari ikan, kepiting, dan udang,” ujarnya.

Endang mengaku semakin bersemangat setelah melakukan studi banding di Sawungkuwuh, Bali, yang hutan mangrove-nya terawat dengan baik. Difasilitasi JICA Jepang, hutan mangrove di Sawungkuwuh yang terdiri atas 1.200 jenis tanaman tumbuh subur. Sebenarnya di pantai Probolinggo jenis mangrove-nya juga beragam. Bahkan ada jenis mangrove bogem yang buahnya besar. ’’Saat saya masih menjadi lurah, sejumlah warga terkadang mengonsumsi buah mangrove bogem itu sebagai pengganti nasi,” ujar Matno.

Memang sempat muncul cibiran, hanya warga yang kelaparan (miskin) yang makan nasi dari buah mangrove. Untuk menghilangkan perasaan minder mengonsumsi buah mangrove, Endang menggandeng sejumlah warga untuk mengolah buah mangrove menjadi jajanan dan minuman. ’’Kebetulan ada warga Ketapang namanya Bu Lis, yang pandai mengolah buah mangrove menjadi kue, kolak, dan sirup,” ujar Endang.

Antar Adiwiyata
Tidak hanya kepada warga, Endang pun gencar mengajak murid-muridnya di SMAN 2 menanam mangrove. Melalui program bertajuk ’’sajisapo” (satu jiwa satu pohon), Endang mengajak semua orang rajin menanam pohon, di mana saja. Program ini kemudian dikembangkan di kalangan guru menjadi ’’sagusapo” (satu guru satu pohon). Endang pun berhasil mengantarkan SMAN 2 meraih penghargaan Adiwiyata (sekolah berwawasan lingkungan) tiga tahun berturut-turut. Aktivitas Endang semakin padat dengan membina lingkungan di SMAN 2, SMAN 1, dan SMAN 4.

Ketekunan guru yang sejak 2009 lalu pindah ke SMAN 1 Kota Probolinggo berbuah manis. Ia meraih penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, 8 Juni lalu. Bersama siswa dan masyarakat, Endang berhasil menanam 20 ribu mangrove. Maret 2010 lalu, Endang bersama petani yang tergabung dalam Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kota Probolinggo juga menanam 5 ribu mangrove. Keberhasilan mengantarkan SMAN 2 meraih Adiwiyata membuat SMA PGRI Surabaya meminta Endang menjadi pembina lingkungannya. “Tidak hanya sekadar teori, para siswa SMA PGRI saya ajak menanam mangrove di pantai Tambakwedi, Surabaya,” ujarnya.

Sejumlah murid dan guru sempat ragu, apakah pantai Tambakwedi bisa ditanami mangrove. "Pokoknya tanam saja, kalau mati tanami lagi, akhirnya berhasil menanam 30 ribu mangrove di Tambakwedi," ujar Endang. Bagi Endang menanam mangrove di pantai jauh lebih mudah dibandingkan reboisasi di kawasan lain. Di pantai, tidak perlu menggali tanah, pohon mangrove bisa langsung dibenamkan ke dalam lumpur. Tanaman mangrove juga tidak perlu disiram karena tumbuh di kawasan pasang-surut.

’’Yang repot paling-paling hanya harus berjalan di lumpur di tepi pantai,” ujar Endang. Meski demikian, mangrove yang ditanam harus dicek tiga bulan kemudian atau paling lambat setengah tahun. Dari sekian mangrove yang ditanam, biasanya yang potensial hidup sekitar 60-70%. Mangrove kecil biasanya mati karena faktor alam seperti hempasan gelombang dan serangan tiram. “Kalau ada tanaman mati, segera ganti dengan tanaman baru,” ujarnya.

Ditanya apakah kondisi hutan mangrove di Probolinggo sekarang sudah bagus, Endang mengatakan, belum menyeluruh. ’’Masih banyak kawasan pantai yang gundul, sebagian mangrove juga rusak,” ujarnya. Yang jelas Endang bersama suaminya, mengaku, akan terus menanam pohon terutama mangrove. Namun tugas sebagai guru, demikian juga Matno sang suami yang PNS di Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Probolinggo tetap diutamakan. ’’Mungkin kalau nanti pensiun, saya dan suami lebih punya banyak waktu,” ujar perempuan kelahiran 24 Agustus 1960 silam itu. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Kirap Adipura Dan Adiwiyata Mandiri SMADA Probolinggo

Kebanggan meraih Adipura, Adiwiyata mandiri, Adiwiyata dan Kalpataru dirasakan warga Probolinggo terutama SMA Negeri 2 Probolinggo. Kemarin di Kota Probolinggo dilaksanakan kirab untuk memamerkan piala hasil prestasi lingkungan itu. "Alhamdulillah sudah keempat kalinya. Kota Probolinggo berada di peringkat ketiga untuk kategori kota sedang. Semoga dengan semangat kebersamaan tahun depan bisa meraih Adipura peringkat pertama," tegas Buchori disambut tepuk tangan dan masyarakat yang memadati jalanan di depan kantor Wali Kota Jl Panglima Sudirman.

Banyak pihak yang terlibat dalam kirab piala Adipura pada Sabtu (12/6) sore kemarin. Wali Kota Buchori dan istrinya Rukmini Buchori berada di atas mobil Strada bernopol N 8000 SE. Di atas mobil itu terdapat piala Adipura yang menjadi kebanggaan. Di belakang mobil pembawa Adipura ada piala Adiwiyata Mandiri dari SMADA probolinggo dan adiwiyata dari masing-masing sekolah juga Kalpataru yang diraih Endang Sulistyowati mantan Guru SMADA Prob. Disusul sejumlah komunitas bersepeda seperti Kosela dan Zoek Blosoek, mobil Wawali Bandyk Soetrisno dan muspida, termasuk siswa dan siswi SMADA Proling.

Lebih dari lima ribu orang ikut dalam iringan kirab tersebut. Sementara siswa dari sekolah yang dilalui kirab sudah bersiap di depan sekolah sambil membawa bendera merah putih berukuran kecil. Rute kirab dari kantor wali kota melewati Jl Panglima Sudirman - Jl Lumajang - Jl Sunan Ampel - Jl Slamet Riyadi - Jl Kapuas - Jl Brantas - Jl Sukarno Hatta - Jl Panglima Sudirman dan finish kembali di kantor wali kota. Jarak yang ditempuh sekitar satu jam. Tepat pukul 16.00 rombongan sudah kembali ke start. Selamat and Congratulation..! Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Penyambutan Piala Adipura dan Adiwiyata Kota Probolinggo

"Keanekaragaman Hayati, Masa Depan Bumi Kita. Many Species, One Planet, One Future." Itulah bunyi spanduk yang terpasang di depan Kantor Pemkot Probolinggo pagi itu. Untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) yang jatuh pada hari Rabu tanggal 5 Juni 2010 kemarin, sekaligus merayakan keberhasilan meraih Piala Adipura, Pemkot Probolinggo mengadakan apel pagi penyambutan Piala Adipura, Adiwiyata dan Kalpataru di halaman kantor Pemkot Probolinggo. Apel ini dihadiri oleh seluruh jajaran di lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo, unsur pimpinan DPRD Kota Probolinggo beserta anggota, unsur MUSPIDA Kota Probolinggo serta para petugas kebersihan.

Hujan gerimis yang sempat mewarnai suasana di pagi itu tidak menghalangi ratusan peserta dari berbagai Satker di lingkungan Pemkot Probolinggo untuk menghadiri apel tersebut. Penulis, yang juga hadir bersama beberapa rekan guru dari SMKN 1 Probolinggo dan sekolah-sekolah penerima penghargaan lainnya, sempat merasa cemas melihat mendung gelap yang menggantung di atas langit Kota Probolinggo. Beruntunglah hujan gerimis tidak berlangsung lama. Kira-kira pukul 7 pagi, Bapak Walikota, H.M. Buchori, beserta istri dan perwakilan dari sekolah penerima penghargaan Adiwiyata, tiba di tempat upacara dengan membawa penghargaan Adiwiyata dan Kalpataru. Kedatangan mereka disambut dengan aksi karyawan BLH (Badan Lingkungan Hidup) menampilkan Tari Keranjang, yang melambangkan kebersamaan dalam gerakan kebersihan lingkungan.

Ratusan peserta apel yang terdiri dari wakil-wakil dari berbagai Satker tidak ingin menyia-nyiakan tontonan gratis ini, dan spontan membalikkan badan ke arah jalan dimana para penari sedang beraksi. Barisan kembali tertib saat Bapak Walikota Probolinggo secara resmi membuka apel pagi tersebut. Pada sambutannya, H.M. Buchori menyampaikan pesan dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa bila ada warga yang selalu merusak mangrove & hutan air payau, agar ditindak tegas, sambil menoleh kepada Kapolresta Probolinggo dan dijawab dengan anggukan kepala.

Pemerintah dan masyarakat kota Probolinggo patut berbangga karena kota Probolinggo sanggup mempertahankan penghargaan Adipura selama 4 kali berturut-turut. Prestasi yang juga cukup membanggakan adalah tahun ini kota Probolinggo menduduki ranking III nasional untuk kategori kota sedang yang diikuti oleh 250 kab/kota di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk rangking I nasional diraih oleh Tulungagung, dan rangking II nasional diraih oleh Jepara. ”Mudah-mudahan tahun depan, dengan semangat kebersamaan, bukan hanya rangking III tapi kita raih rangking pertama tingkat nasional” tegas H.M. Buchori dan disertai tepuk tangan dari peserta apel.

Secara lengkap, Ragam Penghargaan yang diterima Kota Probolinggo Tahun 2010 adalah Adipura (Kota Probolinggo), Kalpataru (Endang Sulistyowati, guru Biologi SMAN 1 Kota Probolinggo), Adiwiyata Mandiri (SMAN 2 Kota Probolinggo), serta Piala Adiwiyata (SMKN 1 Kota Probolinggo, SMAN 4 Kota Probolinggo dan SDN Mangunharjo 6). Untuk kategori perorangan, penghargaan Kalpataru diterima oleh ibu Endang Sulistyowati, sekarang guru Biologi di SMAN 1 Probolinggo atas kepeduliannya terhadap hutan Mangrove bagi kelestarian dan keseimbangan alam.

Sebelum menutup sambutannya, Walikota Probolinggo, mengucapkan terima kasih kepada masyarakat, utamanya kepada Pedagang Kaki Lima (PKL) karena ikut andil dalam menjaga lingkungan sehingga Kota Probolinggo dapat mempertahankan Penghargaan Adipura. Dia berpesan kepada para wakil PKL agar menjaga lingkungan yang bersih, "selesai buka usaha bersihkan sekitarnya, jangan selalu membebani Pemerintah. Saya percaya, bapak-bapak ikut membantu teraihnya adipura ini” tutupnya. Kalimat beliau yang menandakan gaya kepemimpinan yang egaliter menyiratkan kepedulian dan kedekatan dengan segenap lapisan masyarakat, bahkan para PKL sekalipun. Pesan mendalam yang beliau sampaikan adalah bahwa prestasi kota Probolinggo bukanlah hanya milik Pemerintah saja, tapi juga milik seluruh lapisan masyarakat kota Probolinggo, dan mustahil bisa terwujud tanpa adanya kepedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan di kota Probolinggo.

Satu hal yang cukup menarik perhatian peserta apel di ujung acara tersebut adalah pelepasan puluhan burung berkicau ke alam bebas. Puluhan burung yang telah sekian lama terkurung di dalam sangkar tampak mengalami kesulitan ketika harus beradaptasi dan terbang di alam bebas. Sebagian besar burung-burung tersebut hanya mampu terbang sejauh puluhan meter dan kemudian hinggap di atas pohon-pohon rindang di sekitar kantor Pemkot. Bahkan seekor burung hinggap di dahan tepat di atas penulis. Penulis berharap semoga burung-burung tersebut bisa betah dan bersarang di pohon-pohon sekitar agar dapat menambah keasrian alam kota Probolinggo. Semoga. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Kota Sehat, Warga Sehat

Pada peringatan, hari kesehatan sedunia ke-62 tahun 2010 ini, WHO mengusung tema Urbanization and Health. Dengan terinspirasi tema global tersebut, dan memperhatikan situasi kondisi negara dan masyarakat Indonesia, Pemkot memilih “tema kota sehat, warga sehat”. Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Kota Probolinggo Dr. Bambang Agus Suwignyo, M.Kes, pada saat memberikan sambutan, dalam acara penghijauan untuk memperingati hari kesehatan sedunia ke-62. Kegiatan digelar di Jalan Bengawan Solo, Kota Probolinggo, kemarin (9/4). “Kesadaran pemangku kepentingan terhadap adanya urbanisasi, ditandai hari kesehatan se dunia, di Kota Probolinggo ditandai penghijauan dan pelepasan burung berkicau. Ini melibatkan seluruh satuan kerja (satker),” terang Bambang Agus Suwignyo.

Dalam kesempatan kali ini, Kadinkes juga menyampaikan 10 pesan utama. Di antaranya (1) beri kesempatan kota untuk hari bebas kendaraan bermotor (car free day), (2) satu orang menanam satu pohon (one man one tree), (3) satu jam saja untuk pasar sehat. (4) kelola sampah dengan baik, (5) perluas kawasan tanpa rokok, untuk kesehatan publik, (6) beri ruang gerak untuk pejalan kali, (7) perbanyak tanaman untuk paru-paru kota, (8) memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat, (9) menjamin ketersediaan sayur dan buah dengan harga terjangkau, (10) tata pemukiman yang bersih yang sehat.

Sementara itu Walikota Probolinggo,H.M.Buchori mengatakan bahwa Pemkot akan memberlakukan, menanam pohon, selama 1 bulan 1 kali. “Tema Nasional ini dipilih untuk mengingatkan kita bahwa dampak urbanisasi terhadap kesehatan sangat bermakna. Dan apabila hal ini tidak dikelola dengan baik, akan berpengaruh pada menurunnya derajat kesehatan masyarakat,” tegas H.M.Buchori. Walikota juga berpesan, hari kesehatan sedunia ke-62, tahun 2010 ini agar dijadikan momentum beberapa hal. Misal menyatukan langkah, meningkatkan kerja sama, dan memperkuat komitmen pemerintah pusat, perintah provinsi, kabupaten/kota, organisasi kemasyarakatan, swasta, LSM, dan organisasi Internasional. Kesemuanya dalam upaya mengarusutamakan pembangunan yang berwawasan kesehatan.

Dalam acara penghijauan kali ini, turut hadir, Wakil Walikota Probolinggo Bandyk Sotrisno, Sekdakot Johny Hariyanto, Ketua DPRD H.M.Sulaiman, Kepala Dinas Kesehatan Bambang Agus Suwignyo, serta seluruh Kepala Dinas, Badan, dan Kantor, serta staff dilingkungan Pemkot Probolinggo. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Probolinggo Bestari

Probolinggo dikenal dengan sebutan BESTARI, yaitu Bersih, Sehat, Tertib, Aman, Rapi, dan Indah. Pemerintah mencanangkan kata BESTARI agar warga Kota Probolinggo mengamalkan dan terbiasa hidup bersih, sehat, tertib, aman, rapi, dan indah. Beberapa contoh dari program pemerintah yaitu Pembangunan Kota Seribu Taman, Pendidikan Lingkungan Hidup, Aksi Lima Ribu Pohon, Pelestarian Lingkungan, dan Kemah Hijau.

Kota Seribu Taman
Kota Probolinggo kini sering disebut Kota Seribu Taman karena di sepanjang tepi jalan-jalan besar terdapat taman kecil dengan tumbuhan yang beraneka ragam, sehingga dapat memperindah suasana di tepi jalan. Taman tersebut berfungsi untuk menyerap Carbondioksida (CO2) yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor sehingga lapisan ozon tidak berlubang jadi dapat mengurangi dampak Global Warming.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
Pendidkan Lingkungan Hidup (PLH) biasa menjadi salah satu mata pelajaran khusus yang diberi kepada siswa dan siswi. PLH berfungsi untuk menggalakkan kegiatan lingkungan hidup, sehingga di hati siswa dan siswi Kota Probolinggo tertanam rasa cinta terhadap lingkungan hidup serta siswa dan siswi mengerti arti pentingnya lingkungan hidup dalam kehidupan.

Aksi Lima Ribu Pohon
Aksi Lima Ribu Pohon mangrove dilakukan oleh siswa-siswi SD, SMP, dan SMA tertentu yang ada di Kota Probolinggo. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilaksanakan di kelurahan Ketapang dan jalur lingkar utara kelurahan Mangunharjo. Aksi Lima Ribu Pohon dilaksanakan untuk melestarikan lingkungan hidup. Sebelum pelaksanaan kegiatan tersebut dimulai, dilakukan pengarahan terlebih dahulu. Sejuta pengalaman yang dibalut menjadi satu dengan kebahagiaan yang dilakukan seharian dengan menanam mangrove berarti kita telah menyelamatkan lingkungan.

Pelestarian Alam
Salah satu perusakan lingkungan hidup yaitu dengan merusak atau memburu tanaman dan hewan. Manusia secara alami menunjukkan dominasi atas semua makhluk hidup di muka bumi ini. Kepunahan adalah berakhirnya keberadaan suatu spesies yang secara efektif menurangi keanekaragaman. Kepunahan dapat terjadi bila tidak dilakukan usaha-usaha mencegahnya. Fakta menyatakan bahwa sebagian besar manusia bertanggung jawab atas hilangnya dari spesies-spesies tumbuhan dan hewan, melalui penangkapan, perburuan liar, penggundulan hutan, dan berbagai macam praktik kebudayaan. Mungkin manusia harus belajar untuk membiarkan alam sebagaimana dulu dan ini pasti akan berarti bagi keseluruhan kelestarian spesies dari tumbuhan dan hewan.

Kemah Hijau
Salah satu program lingkungan hidup dari pemerintah yaitu Kemah Hijau. Kemah Hijau merupakan kemah yang diikuti oleh perwakilan siswa dan guru sekolah adiwiyata se tingkat Jawa Timur. Acara Kemah Hijau Jatim tahun 2009 terdapat empat simpatisan dari luar negeri yaitu berasal dari Australia, Malaysia, Belanda, dan China. Dalam Kemah Hijau tersebut terdapat kegiatan inovatif yaitu pembagian team-building, pembuatan mural (lukisan panjang dari kanvas), observasi secara langsung dan wawancara langsung kepada tokoh masyarakat atau warga sekitar tentang lingkungan hidup. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Menuju Adiwiyata dan Adipura

Kota Probolinggo selalu berusaha mengikuti perkembangan dengan memaksimalkan potensi yang ada. Penciptaan iklim inovasi kreatifitas dan jiwa bersaing menjadi motto yang sudah melekat di hati seluruh warga kota Probolinggo. Nampaknya hal ini yang memacu kita untuk berusaha tampil yang terbaik dalam segala kompetisi. Berdasarkan kondisi itu, warga kota Probolinggo berkomitmen untuk selalu meningkatkan mutu kebersihan kota Probolinggo, salah satunya di bidang lingkungan yaitu meningkatkan sekolah-sekolah di kota Probolinggo menjadi Sekolah Adiwiyata tingkat nasional dan menjadikan kota Probolinggo menjadi Kota Adipura tingkat nasional. Adapun kriteria penilaian Adiwiyata Mandiri menitik beratkan pada pelaksanaan dan pengembangan Kurikulum Berbasis Lingkungan,yaitu mencapai 40%, bidang Kebijakan Berbasis Lingkungan 30%, bidang Pengembangan berbasis Partisipatif 20% dan Pengelolaan Sarana Pendukung Sekolah berbasis lingkungan hanya 10%.

Dengan melihat kriteria tersebut tentunya kita juga fokus pada sistem dan pola pengajaran Pendidikan Lingkungan Hidup di kota Probolinggo. Konsep Adiwiyata adalah 3H ( Head, Hart, Hand ) yaitu pemahaman, kesadaran, dan yang paling penting adalah perbuatan. Dari konsep inilah kota Probolinggo dalam sistem dan pola pengajaran Pendidikan Lingkungan Hidup lebih menonjolkan Implementasi diseluruh mata pelajaran pendidikan di sekolah-sekolah, sehingga tidak heran jika banyak program-program aksi lingkungan dan penyelamatan lingkungan yang dilakukan oleh para warga kota Probolinggo. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Komposter Aerob BLH Kota Probolinggo

Sampah merupakan salah satu kata yang enggan kita dengarkan, disamping karena sifatnya yang kotor dan bau kata-kata “SAMPAH” banyak kaitannya dengan yang namanya kotor, jorok. Namun kali ini BLH Kota Probolinggo akan membuat sampah tersebut menjadi suatu hal yang sangat berguna. Sampah sendiri terdiri dari dua macam yakni sampah organik dan non organik, dan sampah yang organik juga dibedakan jadi dua lagi yakni organik basah (daun, tanaman) dan organik olahan (nasi,sayur,makanan,dll), nah pemanfaatan sampah organik tersebut dapat ditunjang dengan yang nama kerennya KOMPOSTER AEROB.

Terobosan yang dilakukan oleh BLH Kota Probolinggo ini terkait dengan kebersihan lingkungan hidup sebagai salah satu penunjang dari proses pemanfaatan sampah yang diberikan nama KOMPOSTER AEROB. Karena dirasa manfaat KOMPOSTER AEROB ini sangat penting, maka BLH Kota Probolinggo memberikan /RT satu KOMPOSTER untuk dikelola oleh warganya. Contohnya di Perumahan Kopian Indah, BLH telah menyediakan KOMPOSTER AEROB ini secara cuma-cuma.

Karena Pemerintah Kota Probolinggo sudah memberikan fasilitas KOMPOSTER AEROB secara cuma-cuma kini tinggal partisipasi warga Kota Probolinggo untuk mengelola sendiri sampah-sampah sehingga Kota Probolinggo selalu bersih dan bebas dari segala jenis kuman dan penyakit. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Teknologi Sampah di Konvensi Sampah Nasional

Pemerintah daerah bisa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mengatasi masalah sampah. Deputi Bidang Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup Henry Bastaman mengatakan sampah bisa diolah menjadi energi listrik. Menurut Henry, penerapan teknologi ini mulai dilakukan pemerintah daerah Bekasi, Jawa Barat. “Kota Bekasi tanggal 10 Maret kalau tidak salah mereka akan melaunching Bantar Gebang sebagai salah satu sumber energi mereka. Energi listrik dari sampah. teknologi sudah ada, bisa diterapkan, Sekarang tinggal bagaimana itu dijadikan kebijkan praktis, tehnis untuk dilaksanakan di pemerintah daerah.”

Henry Bastaman menambahkan, penerapan teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik akan disosialisasikan dalam Konvensi Sampah Nasional di Probolinggo, Jawa Timur, November mendatang. Konvensi melibatkan lebih dari 30-an pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota se-Indonesia. Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Kota Probolinggo Budi Krisyanto mengatakan, konvensi nasional sampah yang akan diselenggarakan di Kota Probolinggo ini merupakan konvensi ketiga setelah konvensi pertama dan kedua diselenggarakan di Bantul dan Semarang.

Menurut Budi, komitmen yang tinggi dalam penggunaan pupuk organik dari pengolahan sampah organik menjadi kompos membuat kota ini dipilih menjadi tuan rumah konvensi nasional sampah. Di Kota Probolinggo, saat ini ada empat lokasi pengolahan sampah menjadi kompos. Produksi kompos dari reduksi sampah di Kota Probolinggo cukup tinggi. Setiap bulannya kurang lebih 10 ton kompos berhasil diproduksi. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Pasar Bersih dan Sehat Kota Probolinggo

HARI masih pagi, tapi keringat sudah membasahi tubuh Suhar. Warga Sukabumi, Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur ini bahu-membahu bersama lima rekannya menyambut sampah yang datang dari berbagai penjuru kota. Tangannya cekatan menyortir sampah sesuai dengan jenisnya, organik dan anorganik. Masker, sarung tangan, dan kaus lengan panjang milik Suhar pun sudah mulai belepotan. Namun satu bak berukuran 4 x 4 meter persegi yang berisi sampah pasar masih menunggu sentuhannya. Tanpa rasa canggung, Suhar kembali memilah-milah sampah yang sudah mulai mengeluarkan bau tak sedap itu.

Sampah organik yang telah dipisahkan dimasukkan ke mesin pencacah. Hasil olahan yang berupa serpihan yang lebih kecil ditempatkan dalam bak untuk proses fermentasi. Dengan bantuan bioaktivator, sekitar sebulan kemudian sampah itu pun berubah menjadi pupuk kompos. Setelah dikemas, pupuk berbahan baku sampah pun siap dijual. Sudah tiga tahun ini Suhar memproses sampah seperti itu di Unit Pengelolaan Sampah Terpadu Kota Probolinggo. Tempat pengolahan ini hasil kerja sama antara Yayasan Danamon Peduli dan Pemerintah Kota Probolinggo.

Kini, baik sampah pasar maupun rumah tangga tak dibiarkan berlama-lama membusuk dan mencemari kota. Suhar dan rekan-rekannya siap sedia mengolahnya. Hasilnya, Kota Probolinggo kini tampak lebih bersih. Jarang terli-hat gunungan sampah di kota itu. Program itu pun telah berbuah manis. Tak hanya kenyamanan yang dirasakan, tahun lalu kota di tenggara Surabaya itu diganjar Inovasi Manajemen Perkotaan Award 2009 di bidang sanitasi, subbidang pengelolaan sampah perkotaan. Yayasan Peduli Danamon, yang memfasilitasi pengelolaan sampah itu, pun mendapat penghargaan internasional BBC World Challenge pada Desember lalu.

Saat ini Kota Probolinggo telah memiliki empat lokasi pengolahan sampah yang terus menghasilkan kompos. Warga setempat lebih akrab menyebutnya rumah kompos. Keempatnya adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengolahan Sampah Terpadu dan Limbah Induk, UPT Pengolahan Sampah Pasar Baru, dan dua unit pengelolaan sampah di perumahan, yaitu Perumahan Kelurahan Ketapang dan Perumahan Sumber Taman. Untuk memuluskan kebijakan tersebut, pemerintah kota juga mengundang partisipasi aktif warganya dengan menerapkan program pengolahan sampah berbasis komunitas. "Kita membentuk kelompok-kelompok masyarakat peduli sampah," kata Kepala Badan Perencanaan Daerah Kota Probolinggo Budi Krisyanto.

Satu kelompok masyarakat (pokmas) terdiri atas 10 hingga 15 rumah tangga. Kelompok ini bertugas mengumpulkan dan memilah sampah yang dihasilkan di lingkungan masing-masing. Jika sudah terkumpul, koordinator menghubungi rumah kompos agar sampahnya segera diambil. Hingga sekarang, kata Budi, sudah terbentuk kurang-lebih 100 kelompok masyarakat. Dampak positifnya pun mulai dirasakan masyarakat. Mereka bisa memperoleh pupuk cuma-cuma. Dari sampah yang disetorkan ke rumah kompos, 70 persen hasilnya dikembalikan ke kelompok masyarakat. Pupuk tersebut kemudian digunakan di lahan pertanian mereka. "Sisanya bisa dijual untuk kas pokmas," kata Koordinator Paguyuban Peduli Sampah Kota Probolinggo, Sukiman.

Selain itu, ada manfaat lain yang diperoleh masyarakat, yaitu pembuatan kerajinan dari sampah nonorganik. "Ada usaha pembuatan suvenir di pokmas berupa tas dan dompet," kata Sukiman. Pekerjaan ini sebagian besar dilaksanakan oleh kaum perempuan. Data UPT Pengolahan Sampah dan Limbah Badan Lingkungan Hidup Kota Probolinggo menunjukkan tahun lalu produksi kompos sekitar 72 ton dari reduksi sampah sebesar 138 ton. Jika digabungkan dengan kompos yang diproduksi masyarakat per September 2009 sebanyak 100,4 ton kompos, sudah dihasilkan sampah 401,6 ton. Rata-rata produksi kompos per bulan 10 ton.

Kepala UPT Lucia Aries Yulianti pun mengharapkan peran serta masyarakat terus berlanjut. "Kelompok masyarakat yang ada sekarang ini sangat membantu dalam proses pengolahan sampah menjadi kompos," katanya. Menurut dia, pengelolaan sampah akan mengurangi penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Kelak, kata Lucia, TPA menjadi tempat pembuangan sampah yang memang benar-benar tidak bisa dimanfaatkan lagi. Bantul, Yogyakarta, juga menyimpan cerita sukses tentang pengelolaan sampah. Empat pasar tradisional di kabupaten itu, yaitu Pasar Bantul, Pasar Niten, Pasar Imogiri, dan Pasar Piyungan, sukses mengolah sampah pasar menjadi pupuk kompos.

Awalnya, program tersebut hanya di Pasar Bantul, difasilitasi oleh Yayasan Danamon Peduli dengan program "Pasarku Bersih, Sehat, dan Sejahtera". Pemerintah setempat kemudian mereplikasi di ketiga pasar lainnya secara mandiri. Aktivitas pengolahan sampah dimulai sejak Februari 2007 di keempat pasar tradisional tersebut. Saban hari, sampah pasar dikumpulkan oleh petugas dengan gerobak sampah kemudian dibawa ke depo di belakang pasar. Sama seperti yang dilakukan Suhar di Probolinggo, sampah yang terkumpul itu disortir dan diolah menjadi kompos.

"Setiap hari Pasar Bantul menghasilkan 1,5 hingga 2 ton sampah," kata Sugito, 42 tahun, Ketua Koperasi Guyup Rukun yang juga Ketua Kelompok Kerja Pengolah Sampah Pasar Bantul. Dari sampah sebanyak itu dihasilkan 600 hingga 800 kilogram kompos. Setelah dikemas dalam wadah 20 kilogram dan 40 kilogram, pupuk kompos itu dijual Rp 600 hingga Rp 800 per kilogram. Menurut Sugito, sebelum ada sistem pengelolaan sampah pasar, masyarakat di sekitar pasar sering mengeluhkan soal bau dan lalat yang merajalela, apalagi pada musim hujan. "Kini masyarakat tidak ada lagi yang protes karena tak ada lagi sampah yang menumpuk di sini," katanya.

Sayang, sejak Desember 2009, proses pengolahan sampah pasar menjadi kompos agak tersendat. Penyebabnya, kata Kepala Kantor Pengelola Pasar Gatot Sutedja, tim penggerak PKK yang menjadi pembeli utama menghentikan pembelian pupuk hasil olahan sampah pasar tersebut. Gatot berjanji Maret nanti pengolahan sampah pasar menjadi kompos di empat pasar tradisional Bantul akan mulai beroperasi lagi. Dinas Pertanian Kabupaten Bantul yang akan membelinya. "Dinas Pertanian juga akan membantu memasarkan ke petani," katanya.

Selain masih akan memproduksi pupuk kompos, menurut Gatot, sampah pasar nantinya akan diolah menjadi pupuk organik jenis granul. Pupuk ini sebenarnya sama dengan pupuk kompos, hanya bentuknya berupa butiran. "Petani ternyata lebih suka menggunakan kompos jenis granul," katanya. Program Manager Yayasan Danamon Peduli Fauzan Joko menyatakan lembaganya telah mengaplikasikan program "Pasarku Bersih, Sehat, dan Sejahtera" di 31 kota. Program rutin tersebut berasal dari keprihatinan akan lingkungan di pasar tradisional yang lekat dengan asosiasi kotor, kumuh, dan becek.

Akibatnya, minat masyarakat mengunjungi pasar tradisional pun menurun drastis. "Data menunjukkan keberadaan pasar tradisional menurun 3,1 persen per tahun," katanya. Dengan adanya pengelolaan sampah yang baik, Fauzan berharap pasar tradisional akan menjadi lebih bersih dan nyaman. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Pembuatan Pupuk Organik Berbahan Baku Sampah

Kota Probolinggo merupakan salah satu kota di wilayah bagian utara Propinsi Jawa Timur yang terletak di antara jalur jalan Surabaya – Banyuwangi. Luasnya sekitar 5.667 Ha yang secara administratif dibagi menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Mayangan (dengan luas 1.931 Ha), Kecamatan Kademangan (2.151 Ha) dan Kecamatan Wonoasih (1.586 Ha). Pada tahun 2005, jumlah penduduk Kota Probolinggo mencapai 186.221 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk Kota mencapai 3.568 jiwa/km2 (1). Saat ini, Kota Probolinggo, termasuk juga kota-kota lainnya di Indonesia, menghadapi permasalahan sampah yang cukup pelik seperti pencemaran lingkungan akibat pembakaran dan penumpukan sampah yang tidak terkendali, pembuangan sampah ke sungai sehingga berakibat banjir, dan sulitnya mencari lahan Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Sesungguhnya, permasalahan sampah dapat diselesaikan dengan melakukan pengolahan sampah sehingga menjadi tidak mencemari lingkungan, meningkatkan efektivitas pengangkutan sampah, me-recovery sumberdaya, dan memperpanjang umur TPA.

Timbulan sampah Kota Probolinggo mencapai 830 m3/hari yang terdistribusikan berdasarkan lokasinya: timbulan sampah yang berasal dari kawasan pemukiman mencapai 512 m3/hari, kawasan industri 186 m3/hari, pasar tradisional 85 m3/hari, fasilitas perdagangan 44 m3/hari, dan fasilitas kesehatan 3 m3/hari. Secara umum, sampah Kota Probolinggo didominasi oleh sampah organik dan plastik dengan komposisi: sampah organik yang berasal pasar mencapai 92 persen sedangkan dari daerah industri 53 persen (1). Komposisi sampah organik dari pemukiman diperkirakan 60 persen yang berupa sisa-sisa biomasa produk pertanian yang berasal dari sentra-sentra pertanian di desa atau pinggiran kota yang dikirim ke kota, seperti sayur-mayur, palawija, buah-buahan, dan sebagainya. Sampah organik dapat dikonversikan menjadi pupuk organik berkualitas tinggi.

Lahan-lahan pertanian di pinggiran Kota Probolinggo saat ini sangat membutuhkan pupuk organik untuk memperbaiki kesuburannya yang kian berkurang. Penggunaan pupuk kimia yang selama ini dilakukan tanpa dibarengi dengan penambahan material organik telah menyebabkan tanah pertanian menjadi miskin hara dan tidak gembur. Kondisi ini semakin diperparah dengan ketersediaan pupuk kimia yang semakin sulit didapatkan sehingga menyebabkan turunnya produk pertanian. Oleh karena itu sebagian petani telah memakai kembali pupuk organik untuk memperbaiki kesuburan tanahnya. Pengalaman ini mulai diikuti oleh petani-petani lainnya dan telah berhasil meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya penggunaan pupuk organik. Akibatnya, kebutuhan akan pupuk organik juga semakin meningkat, namun sayangnya ketersediaan pupuk organik yang berkualitas, murah dan mudah didapat, sangat terbatas. Dengan luas lahan pertanian sebesar 2.939 Ha diperkirakan Kota Probolinggo, memerlukan kompos sebesar 21.000 ton pertahunnya. Dengan menerapkan teknologi composting diharapkan permasalahan sampah di Kota Probolinggo dan permasalahan penyediaan pupuk organik yang berkualitas bagi petani dapat dipecahkan.

Teknologi Accelerated Revolver Windrow Composting
Untuk mendukung pengelolaan sampah kota menjadi kompos dan untuk mendiseminasikan teknologi yang telah dikaji oleh BPPT, maka pada tahun anggaran 2008/2009, Pusat Teknologi Lingkungan – BPPT melakukan kegiatan penerapan teknologi Accelerated Revolver Windrow Composting (ARWC) di Kota Probolinggo.

Teknologi accelerated revolver windrow composting (ARWC) atau pengomposan dipercepat sistem windrow bergulir merupakan teknologi pengomposan yang telah dikembangkan oleh Pusat Teknologi Lingkungan – BPPT yang telah diteliti dan teruji kehandalannya. Teknologi ARWC adalah sistem fermentasi sampah organik yang dilakukan secara aerobik dengan cara ditumpuk memanjang (windrow) dan digulirkan (revolver) secara reguler sehingga berubah menjadi materi stabil seperti humus atau disebut kompos dalam waktu yang dipercepat (accelerated). Mikroba yang digunakan dalam fermentasi tersebut dipilih dari mikroba alami (native microbe) hasil pengembangan sendiri yang mampu melakukan fermentasi secara cepat dan dapat beradaptasi dengan baik terhadap perubahan lingkungan.

Karakteristik teknologi ARWC adalah sederhana, mudah, murah dan ramah lingkungan sehingga gampang direplikasi dan dioperasikan di manapun tempatnya di Indonesia. Pengoperasian ARWC dapat dilakukan secara manual maupun mekanis tergantung dari situasi dan kondisinya. Prosesnya tidak berbau dan berlangsung cepat antara 4 sampai 6 minggu. Dengan proses perguliran (revolve) yang dilakukan, dapat terjamin estetika dan kemudahan prosesnya. Sedangkan produk yang dihasilkannya adalah kompos yang bermutu tinggi, yakni kompos yang bebas dari bibit gulma, higinis (bebas bakteri patogen) dan mengandung unsur hara yang tinggi.

Teknologi ARWC telah teruji kehandalannya sehingga telah diaplikasikan di beberapa tempat di Indonesia dengan bahan baku yang beragam jenisnya mulai dari limbah pertanian, limbah industri, hingga sampah kota. Bahkan, teknologi tersebut telah direkomendasikan oleh KLH dan World Bank untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Dalam hubungan dengan penanganan sampah kota, teknologi ARWC memberikan andil yang cukup penting bagi pembangunan perkotaan dan penyediaan pupuk organik bagi pertanian.

Pengembangan proses produksi pupuk organik kompos di Kota Probolinggo dilakukan dengan optimasi proses dan peningkatan sarana dan prasarana pengomposan. Optimasi proses dilakukan dengan menerapkan teknologi ARWC yang mempunyai kapasitas terpasang produksi kompos dapat mencapai sekitar 5 ton kompos per minggu. Bahan baku pupuk organik adalah sampah organik yang berasal dari beberapa sumber yaitu (i) pemukiman, (ii) sapuan jalan dan taman, dan (iii) pasar, yang diangkut ke plant composting dengan gerobak motor, .mobil pickup, armroll truck atau dump truck.

Proses pertama sebelum dikomposkan, sampah harus dipilah terlebih dahulu di sumber sampah dan di plant composting. Pemilahan di sumber melibatkan peran serta masyarakat yang tergabung dalam kelompok masyarakat (pokmas) peduli sampah. Sampah yang telah terpilah di sumbernya kemudian diangkut dengan baktor oleh petugas untuk dibawa ke tempat produksi pupuk organik. Sementara itu, proses pemilahan sampah di plant composting dilakukan secara manual terhadap sampah yang berasal dari pasar karena masih banyak mengandung sampah anorganik. Proses pemilahan dilakukan di area waste unloading (penurunan sampah) dan ruang pencacahan. Sampah yang berasal dari sapuan jalan langsung dikomposkan, tidak dipilah lagi, karena komposisinya telah didominasi oleh sampah organik. Selanjutnya sampah organik yang terkumpul, sebelum difermentasi, dicacah terlebih dahulu dengan mesin pencacah.

Dari area pencacahan dan pemilahan, sampah diangkut dengan gerobak motor ke composting hall (ruang pengomposan) yang terpisahkan oleh area pengayakan. Tumpukan yang dibentuk secara manual dengan garu dan skop memiliki dimensi lebar 2,5 meter, panjang 8 meter, dan tinggi 1,5 meter yang berbentuk trapesium memanjang (windrow). Dengan dimensi tersebut, proses aerasi alamiah masih berjalan cukup optimal. Untuk mengoptimalkan proses pembuatan pupuk organik, pada saat pembentukan tumpukan ditambahkan kotoran sapi yang kaya akan mikroorganisma (berfungsi sebagai starter) dan kandungan nitrogen yang dapat mempercepat proses pengomposan sehingga proses pengomposan dapat dipercepat (accelerated).

Secara reguler tumpukan disiram untuk menjaga kelembapan sehingga proses pengomposan berjalan optomal. Proses penyiraman menggunakan air tanah dilakukan dengan sprayer/selang. air. Pengendalian kelembapan secara ketat dilakukan karena udara di sekitarnya cukup panas (matahari terik) dan berangin kencang sehingga tumpukan menjadi cepat kering.

Tumpukan yang terbentuk dibiarkan terfermentasi secara aerobik sehingga secara alamiah suhunya meningkat hingga 70 oC. Suhu tinggi tersebut dapat berlangsung selama dua minggu. Setelah tumpukan berumur satu minggu, tumpukan tersebut digulirkan (revolved) ke tempat sebelahnya. Tempat yang telah kosong pada petak 1 diisi kembali dengan bahan baku yang baru. Seminggu kemudian tumpukan pada petak kedua dipindahkan ke petak ketiga, tumpukan petak pertama ke petak dua. Perguliran dilakukan secara reguler hingga masuk petak keenam. Setelah seminggu berada di petak keenam, tumpukan sudah menjadi kompos matang dan siap dipanen. Proses perguliran dilakukan secara manual dengan bantuan baktor, garu dan skop.

Dari petak keenam, produk pupuk organik yang telah jadi (kompos) kemudian digelar di area pengayakan sebelum diayak secara manual dan mekanikal. Pengayakan mekanikal dilakukan jika produk yang akan diayak jumlahnya cukup banyak, sedangkan untuk jumlah sedikit cukup diayak secara manual. Diameter lubang-lubang ayakan sekitar 5 mm. Ayakan mekanis yang dipergunakan berupa trommel screen yang digerakan dengan mesin diesel. Proses pembuatan pupuk organik metode ARWC dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil Produksi Pupuk Organik dan Pemasarannya
Kompos halus berukuran diameter 5 mm kemudian diayak lagi dengan ayakan 3 mm untuk dibuat granul. Proses pembuatan granul dilakukan dengan rotating disc (piringan berputar) yang digerakan dengan mesin diesel yang dapat menghasilkan sekitar 30 kg granul kompos dalam waktu 5 menit. Granul kompos yang diproduksi kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Setelah itu, sebagian granul diperkaya dengan N, P, dan K alami dalam mesin mixer sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen. Baik produk pupuk organik yang telah diayak maupun yang telah digranul dikemas dalam kemasan plastik transparan berlabel dengan ukuran 5 kg. Sealing kemasan dilakukan dengan electric hotseal. Untuk pupuk granul, selain dikemas dalam ukuran tersebut, juga dikemas dalam karung dengan ukuran 50 kg. Penutupan karung dilakukan dengan menjahitnya. Merek pupuk organiknya yaitu BIOKOMPOS Bayuangga Lestari.

Produk pupuk organik kompos yang diproduksi telah memenuhi beberapa persyaratan kualitas kompos seperti yang tercantum dalam SNI Kompos No. 19-7030-2004 (2). Rasio C/N kompos adalah 18, suatu nilai yang mendekati rasio C/N tanah yaitu sekitar 10 sampai 20. Suhu kompos sekitar 25 oC, sesuai dengan dengan suhu air tanah. Baunya seperti bau tanah karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna kehitaman dan teksturnya juga seperti tanah. Karakteristik fisik dan kimia kompos disajikan dalam Tabel 1. Jumlah pupuk yang sudah berhasil diproduksi dari Bulan Mei sampai Oktober 2008 adalah 49,75 ton. Jika dirata-ratakan produksi pupuk organik perminggunya adalah 2,07 ton, padahal target produksi pupuk organik adalah 3 ton perminggu.

Produk pupuk organik yang dipasarkan terdiri dari dua bentuk yaitu bentuk kompos (biasa) dan bentuk kompos granul. Distribusi pupuk kompos (biasa) dilakukan di dalam Kota Probolinggo, sedangkan distribusi kompos granul sebagian besar dilakukan di luar Kota Probolinggo seperti Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Nganjuk dan Kota Malang. Di dalam Kota Probolinggo, kompos sebagian didistribusikan ke penduduk sebagai bentuk insentif ke rumah tangga yang telah berperan memilah sampah, kelompok tani, dan sebagian yang lainnya didistrbusikan ke para retailer atau kios tanaman hias yang tersebar di beberapa lajur jalan di Kota Probolinggo. Hasil penerapan produk granul kompos pada tanaman bawang merah dan kentang yang telah dilakukan petani terbukti dapat meningkatkan hasil panen komoditas tersebut.

Penutup
Penerapan teknologi Accelerated Revolver Windrow Composting (ARWC) di Kota Probolinggo telah berhasil dilaksanakan. Produknya, baik dalam bentuk kompos biasa maupun kompos granul, berkualitas baik dan memenuhi standar nasional. Kegiatan pengolahan sampah menjadi pupuk organik telah membuka lapangan kerja baru di bidang pengomposan dan daur ulang sampah kota serta meningkatkan efisiensi sistem pengelolaan sampah kota dan memperpanjang umur TPA.

Kegiatan pembuatan pupuk organik kompos di Kota Probolinggo sebaiknya direplikasi di daerah-daerah lainnya dengan serius dan profesional sesuai kondisi daerahnya karena disamping bermanfaat dalam penyediaan pupuk organik untuk ketahanan pangan dan menjaga kebersihan serta kehijauan kota tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi pengelola kebersihan. Oleh karena itu, program seperti ini sebaiknya di tahun-tahun mendatang juga diarahkan ke kota-kota lainnya di Indonesia.. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...
Informal Meeting Forum (IMF)
Dewan Pembangunan Berkelanjutan (DPB)
Forum Jaringan Manajemen Sampah (FORJAMANSA)
Paguyuban Eco Pesantren
Paguyuban Kader Lingkungan (PAKERLING)
Paguyuban Putri Lingkungan (PUTLING)
Kelompok Masyarakat Pemilah Sampah (POKMAS)
Paguyuban Peduli Sampah (PAPESA)
Penyandang Cacat Peduli Lingkungan Kota Probolinggo (PECEL KOPROL)
Komunitas Pelestari Keanekaragaman Hayati (KOMTARI KEHATI)
Paguyuban Penarik Gerobak Sampah Cekatan Riang Inovatif Amanah (PGS CERIA)
Paguyuban Abang Becak Peduli Lingkungan (ABPL)

Pencarian Artikel

Jumlah Kunjungan

About Me

My photo
By the middle of 2005, the management of environment in Probolinggo city was implemented by 2 (two) units which were subdivision for public cleaning services and parks of Public Works Agency of Probolinggo City and the Office of Environment of Probolinggo City. But in August 2005, considering to the aspects of effectiveness in administration, coordination, budget management dan program operations, then those two units were merged into 1 (one) new governmental institution namely the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City. Then, in accordance to the institutional restructure of central and regional government, on July 1st 2008, the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City was changed into the Environment Agency (BLH) of Probolinggo City.