BLH Kota Probolinggo    "SI JUPPE"   S emangat,  I novatif,  J u jur,  P rofesional,  P e duli

Adipura, Sebuah Tradisi Panjang

Momentum tanggal 5 Juni selain sebagai hari lingkungan hidup, menjadi sebuah hari yang paling ditunggu oleh hampir semua kepala daerah di Indonesia, yakni suatu hari yang juga ”bisa menentukan” masa depanya sebagai kepala daerah. Apakah mendapatkan penghargaan adipura ataukah tidak? Bagi daerah yang memperolehnya, akan menyambutnya dengan perayaan atas penghargaan lambang supremasi di bidang lingkungan hidup tersebut, bahkan perayaannya dilakukan dalam waktu sepekan ke depan dengan seluruh masyarakatnya.

Tetapi bagi daerah yang belum memperolehnya, akan menjadi bagian ”sejarah buruk” bagi perjalanan kepemimpinanya. Karena daerahnya akan mendapatkan sebutan baru yakni sebagai daerah terkotor. Juga akan menjadi titik balik kepercayaan masyarakatnya terhadap kepemimpinannya yang dianggap gagal membawa penghargaan ke daerahnya. Sebegitu besarkah adipura di mata masyarakat? Atau hanya sekedar sebuah simbol kepentingan kepala daerah yang tidak mengefek ke masyarakat? Bahkan adipura yang diharapkan sebagai reward bagi suatu daerah yang dalam memperlakukan lingkungan hidup sampai dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA)-nya, belum dipahami secara menyeluruh oleh para penguasa daerah tersebut.

Di balik event tersebut, apakah adipura sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat atau hanya sekedar sebuah perlombaan, begitu selesai penilaian selesai pula aktivitas yang menyertainya? Adipura kenyataanya belum memberikan kesadaran maksimal bagi manusia sebagai pengguna utama lingkungannya, yang seharusnya dijadikan kilas balik karena telah dibesarkan dan hidup berabad-abad di muka bumi. Kenyataannya pula, manusia telah membuatnya sebagai titik balik yang justru merusak lingkungan hidup sebagai penopang utama kehidupan bumi.

Persoalan bumi dan lingkungan hidup adalah persoalan hidup manusia, berarti juga berbicara keberadaan dan tindak lanjut hidup manusia di dunia, sehingga dari persoalan lingkungan itu manusialah yang harus bertanggung jawab pada keberadaan serta kelangsungan bumi dimasa yang akan datang. Sebab sudah sepantasnya kalau manusia yang hidup di muka bumi, manusia pulalah yang harus menyelamatkan bumi, rasanya naif bila kita serahkan pada hewan, atau tumbuhan-tumbuhan.

Manusia bukan hanya ”berkewajiban” untuk menjaga dan melestarikan bumi beserta lingkungan hidup yang ada di dalamnya, tetapi manusia juga ”berhak” untuk ikut berupaya menjaga seluruh ekosistem dan habitat di dalamnya. Hak itulah yang seharusnya dijadikan penyemangat umat manusia untuk melestarikan bumi ini dari kehancuran.

Cara pandang persoalan lingkungan selalu berbenturan, bahkan berseberangan dengan pemafaatan sumber daya alam yang menjadi trade mark. Pandangan yang salah, apabila masalah pelestarian lingkungan memiliki kesan tidak boleh melakukan dan pemanfaatan SDA, dalil pembenarannya adalah, masalah pelestarian lingkungan bukan berarti SDA tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan keuangan daerah, tetapi wajib memperhatikan daya dukung pada lungkungannya, sehingga dampak dari akses SDA mampu untuk memulihkan kembali kondisi dan kelestarian lingkungan hidup.

Pemerintah dan Lingkungan
Melihat kondisi kemajemukan manusia sebagai tonggak utama dalam penanganan masalah lingkungan, menjadi ujian tersendiri dalam menciptakan kondisi lingkungan hidup yang bersentuhan dengan kehidupan manusia. Sehingga menjadi sebuah persoalan tersendiri untuk mewujudkan pemerintah yang bersih yang bersinergis mewujudkan kondisi lingkungan hidup yang lestari dengan menggeneralisasikan pengelolaan lingkungan hidup melalui penjabaran kebijakan pada masyarakat agar mereka juga sadar akan makna penting lingkungan hidup melalui pendidikan yang berkelanjutan.

Sebagai ukuran konsistensi masyarakat dan pemerintah pada lingkungan hidup adalah, adanya korelasi terciptanya pemerintahan yang baik (good governance) dengan lingkungan hidup yang baik (good environment). Artinya pemerintahan bisa dikatakan good, bila mampu membuat kebijakan dan peduli pada lingkungan hidup. Mulai dari pemanfaatan sampai pada pengelolaan SDA dan lingkungan. Sebab apabila pemerintahan tidak peduli pada lingkungan hidup, maka keserakahan dan kesewenang-wenangan dalam mengeksploitasi SDA semakin tidak terkendali.

Logika ini sangat logis, mengingat pemerintahan sekarang dihadapkan pada Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sehingga kemandirian sebuah daerah saat ini ditentukan oleh pemerintahannya sendiri di daerah, kekhawatirannya adalah apabila daerah menjadi mandiri dan otonom, maka sebagai jalan satu-satunya bagi kehidupan daerah adalah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai pilar utamanya, yakni dengan memanfaatkan sebesar-besarnya SDA yang ada di daerahnya untuk kepentingan dan alasan kemandirian.

Ukuran yang konkrit adalah apabila pemerintah daerah dalam menangani SDA untuk mengejar “target” pendapatan daerah dengan baik dan benar, artinya ramah dan peduli pada lingkungan hidup, maka pemerintahan itu memiliki nilai baik (good govenance), tapi bila sebaliknya, dengan sama sekali tidak peduli pada lingkungan maka pemerintah itu adalah pemerintahan yang tidak adil, tidak demokratis, pemerintah yang berdosa dengan lingkungan, berkesimpulan pemerintah yang jelek dan kotor (bad governance).

Komoditas Lingkungan dalam Politik
Isu lingkungan dewasa ini menjadi trend, karena lingkungan hidup bisa dijual oleh negara demi kepentingan pembangunan. ”Kesadaran” negara akan lingkungan dimulai sejak adanya konvensi Rio de Janerio Brazil tahun 1992. Bahkan isu lingkungan menjadi rekomendasi Bank Dunia untuk mendapatkan bantuan. Ironisnya negara barat selalu vokal dengan kondisi lingkungan saat ini akibat kesalahan yang dilakukan dalam pengembangan industri dan teknologi, sehingga jalan satu-satunya secara politis memaksa negara berkembang agar peduli pada lingkungan sebagai penopang bumi di masa depan.

Generalisasi isu-isu lingkungan dalam dasawarsa terakhir menjadi momok bagi ketidaksiapan pemerintah kita. Hal ini bukan karena pemberlakuan undang-undang otonomi daerah saja, akan tetapi sudah dijadikan komoditas politik praktis, baik oleh partai yang berkuasa, maupun oleh para anggota legislaif. Komoditas itu selain untuk melegatimate kepentingan garis politik sekaligus sebagai senjata untuk menghantam rival politiknya dalam kapasitas permainan dan wacana politik bangsa.

Sebagian besar kerusakan lingkungan hidup karena kesalahan dalam menerapkan kebijakan dan dampak politik yang hanya mementingkan segolongan penguasa untuk melagalitas kekuasaannya. Sebagai contoh kebijakan yang dilakukan pada orde lama sampai orde baru, telah menjual SDA dan lingkungan dengan dalih untuk membiayai dana revolusi ataupun dana pembangunan (lihat kasus freepot).

Di sisi lain pembangunan ekonomi sebagai titik berat kehidupan telah berakibat pada eksploitasi besar-besaran pada SDA dengan memberikan kebebasan pada investor untuk melakukan mengeksploitasi SDA, mulai dari perusakan hutan dengan sistem HPH (Hak Pengelolaan Hutan) sampai dengan penambangan yang tidak ramah lingkungan dan lain sebagainya. Pemerintah telah sewenang-wenang, terutama pada hak-hak rakyat dengan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan pemerintah yang kuat, walaupun dengan mengorbankan SDA dan lingkungan.

Untuk itu maka pemerintahan saat ini dengan undang–undang otonomi daerah, hendaknya benar-benar merupakan ”alat pembersih” bagi pemerintah, karena otonomi daerah bukan untuk membagikan gula-gula manis yang hanya akan menciptakan raja-raja kecil, akan tetapi lebih pada pembagian kekuasaan, penerapan demokratisasi, desentralisasi dan dehumanisasi, agar tidak menjadi pemerintahan yang sentralistik.

Penerapan undang-undang otonomi daerah sekaligus untuk mengukur praktek-praktek hogemony rakyat dalam memanfaatkan SDA di daerah yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, sekaligus untuk mengukur pemerintahan yang bersih dari dosa-dosa lingkungan hidup. Yang menjadi persoalannya adalah, kesiapan lembaga-lembaga pemerintah yang belum optimal dalam ikut berupaya menciptakan keserasian lingkungan hidup.

Diantaranya adalah, pertama: Peran eksekutif daerah masih apatis dan skeptis pada lingkungan hidup. Walaupun dalam pengelolaan SDA melalui perencanaan, namun perencanaan yang dilakukan adalah bersifat teknis dan politis. Artinya SDA hanya dijadikan komoditas sesaat untuk menutupi kebutuhan daerah. Sedang perencanaan secara lingkungan hampir pasti tidak dilaksanakan, sehingga akan terjadi eksploitasi pada SDA yang tidak diimbangi dengan eksplorasi lingkungan hidup.

Kedua, peran legislatif, kesulitannya walaupun anggota dewan memiliki arti yang strategis tetapi belum dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mapan, karena hitungannya selalu dengan rumus poltik, sehingga bila divariabelkan dengan angka, terlebih peran lembaga ini dalam kenyataannya selalu diguncang dan tidak lepas dengan money politic dalam menjalankan fungsinya. Lebih parah lagi legislatif sebagai lembaga kontrol, dari 30 orang yang duduk di DPRD TK II paling hanya 2 sampai 3 orang saja yang tahu tentang lingkungan hidup.

Ketiga, peran yudikatif, dimana sistem hukum dan peradilan Indonesia belum mendukung kemandirian dan supremasi hukum, yang ada. Lembaga yudikatif banyak yang memerankan sebagai eksekutif, sehingga sebagai sebuah lembaga yang mandiri dalam penegakan hukum menjadi mandul dan tidak berdaya. Apapun katalisatornya dalam sebuah negara yang belajar arti demokrasi, kekuatan masing-masing lembaga pemerintahan menjadi penting, sebab lembaga-lembaga itulah sebagai pionir untuk mewujudkan dan mendidik masyarakat agar lebih mandiri transparan, demokratis dan jujur.

Di samping euforia kebebasan berserikat dimasyarakat akan menjadi bagian pula untuk melakukan koreksi pada ketiga lembaga pemerintahan tersebut, yakni dengan banyaknya stakeholder/LSM dalam melakukan sparing patner sekaligus sebagai presuare group pada ketiga kekuatan tersebut dalam menjalankan kebijakan pemerintahanya. Sehingga akan terwujut kebijakan penanganan lingkungan secara proposional sebagai pemerintahan yang bersih, transparan, sebagai implementasi dari pemerintahan yang baik. Walaupun kemungkinan perjalannya agak lambat, dengan kekuatan monitoring dan evaluasi dari forum-forum warga tersebut akan dapat merwujudkan good governance sekaligus ukuran dari good environment. Sumber Berita

No comments:

Post a Comment

Informal Meeting Forum (IMF)
Dewan Pembangunan Berkelanjutan (DPB)
Forum Jaringan Manajemen Sampah (FORJAMANSA)
Paguyuban Eco Pesantren
Paguyuban Kader Lingkungan (PAKERLING)
Paguyuban Putri Lingkungan (PUTLING)
Kelompok Masyarakat Pemilah Sampah (POKMAS)
Paguyuban Peduli Sampah (PAPESA)
Penyandang Cacat Peduli Lingkungan Kota Probolinggo (PECEL KOPROL)
Komunitas Pelestari Keanekaragaman Hayati (KOMTARI KEHATI)
Paguyuban Penarik Gerobak Sampah Cekatan Riang Inovatif Amanah (PGS CERIA)
Paguyuban Abang Becak Peduli Lingkungan (ABPL)

Pencarian Artikel

Jumlah Kunjungan

About Me

My photo
By the middle of 2005, the management of environment in Probolinggo city was implemented by 2 (two) units which were subdivision for public cleaning services and parks of Public Works Agency of Probolinggo City and the Office of Environment of Probolinggo City. But in August 2005, considering to the aspects of effectiveness in administration, coordination, budget management dan program operations, then those two units were merged into 1 (one) new governmental institution namely the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City. Then, in accordance to the institutional restructure of central and regional government, on July 1st 2008, the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City was changed into the Environment Agency (BLH) of Probolinggo City.