BLH Kota Probolinggo    "SI JUPPE"   S emangat,  I novatif,  J u jur,  P rofesional,  P e duli

Hutan Kota Probolinggo Baru Mencapai 18 Persen

Kawasan hutan dan ruang terbuka hijau di Kota Probolinggo seluas 1.004,7 ha atau 18,4% dari total luas wilayah kota 5.667 hektare. ”Luas hutan kota di Kota Probolinggo melebihi batas minimal yang ditetapkan pemerintah yakni, minimal 10 persen dari luas wilayah,” ujar Wawali Probolinggo, Drs Bandyk Soetrisno MSi di ruang Sabha Bina Praja, Pemkot Probolinggo, Minggu (20/6). Hal itu diungkapkan saat menerima tim penilai pusat lomba penghijauan dan konservasi alam kategori hutan kota 2010. Seperti diketahui, Kota Probolinggo lolos ke tingkat nasional dalam lomba memperebutkan penghargaan Wana Lestari itu. Menurut UU No. 26/2007 tentang penataan ruang pasal 29 disebutkan proporsi ruang terbuka hijau publik minimal 20 persen dari luas kota.

Bandyk menambahkan, keberadaan hutan kota berperan penting dalam penyerapan gas buang (emisi) kendaraan bermotor. Setiap 4 pohon bisa menyerap emisi 1 mobil. Sisi lain, berdasarkan pengamatan di 10 ruas jalan, Kota Probolinggo dilintasi 62.715 kendaraan bermotor (mobil dan motor) setiap hari. “Sehingga dibutuhkan 2590.860 pohon, sementara luasan hutan kota 1.004,7 hektare atau setara dengan 401,880 pohon,” ujar wawali. Hutan kota seluas itu tersebar di berbagai kawasan mulai di permukiman, industri, tempat rekreasi, plasma nutfah (keanekaragaman hayati), perlindungan, hingga pengaman. ”Kami juga menggalakkan program Probolinggo Berkicau dengan sering melepas burung ke alam bebas,” ujar Bandyk.

Kepala Dinas Pertanian, Ir Achmad Sutardjo MSi menambahkan, keberadaan hutan kota juga tidak lepas dari peran masyarakat dan pabrikan. Dicontohkan, PT Kutai Timber Indonesia (KTI), perusahaan pengolahan kayu di kawasan pelabuhan Tanjung Tembaga, menggandeng Pemkot dan warga untuk menanam pohon. Lahan aset Pemkot di Kedungsupit seluas 4 Ha misalnya, ditanami sengon yang bisa menjadi bahan baku pabrik PT KTI. KTI juga memberikan bibit pohon dan biaya perawatan kepada warga. Dan kelak ketika pohon itu saatnya ditebang (5-6 tahun), PT KTI siap menampung (membeli)-nya.

Sementara itu Ketua Tim Penilai Pusat Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam, Ir Chaerudin MM mengatakan, even yang digelar Kementerian Kehutanan jangan dipandang sebatas ajang perlombaan. “Keberadaan hutan kota sangat bermanfaat bagi warga kota. Selain sebagai pemasok oksigen, hutan kota bisa menjadi sarana rekreasi dan bermain yang nyaman dan murah bagi warga kota,” ujarnya. Chaerudin mencontohkan, Kebun Raya Bogor sekarang menjadi objek wisata yang laris manis. “Warga kota ingin berlama-lama di Kebun Raya hanya karena ingin mengirup udara segar, yang tidak dijumpai di Jakarta,” ujarnya.

Dengan konsep pembangunan berwawasan lingkungan, kata Chaerudin, keberhasilan kota diteropong salah satunya dengan keberhasilan mewujudkan hutan kota. Kota semacam ini membuat betah penghuninya, juga nyaman bagi pendatang. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Adipura, Sebuah Tradisi Panjang

Momentum tanggal 5 Juni selain sebagai hari lingkungan hidup, menjadi sebuah hari yang paling ditunggu oleh hampir semua kepala daerah di Indonesia, yakni suatu hari yang juga ”bisa menentukan” masa depanya sebagai kepala daerah. Apakah mendapatkan penghargaan adipura ataukah tidak? Bagi daerah yang memperolehnya, akan menyambutnya dengan perayaan atas penghargaan lambang supremasi di bidang lingkungan hidup tersebut, bahkan perayaannya dilakukan dalam waktu sepekan ke depan dengan seluruh masyarakatnya.

Tetapi bagi daerah yang belum memperolehnya, akan menjadi bagian ”sejarah buruk” bagi perjalanan kepemimpinanya. Karena daerahnya akan mendapatkan sebutan baru yakni sebagai daerah terkotor. Juga akan menjadi titik balik kepercayaan masyarakatnya terhadap kepemimpinannya yang dianggap gagal membawa penghargaan ke daerahnya. Sebegitu besarkah adipura di mata masyarakat? Atau hanya sekedar sebuah simbol kepentingan kepala daerah yang tidak mengefek ke masyarakat? Bahkan adipura yang diharapkan sebagai reward bagi suatu daerah yang dalam memperlakukan lingkungan hidup sampai dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA)-nya, belum dipahami secara menyeluruh oleh para penguasa daerah tersebut.

Di balik event tersebut, apakah adipura sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat atau hanya sekedar sebuah perlombaan, begitu selesai penilaian selesai pula aktivitas yang menyertainya? Adipura kenyataanya belum memberikan kesadaran maksimal bagi manusia sebagai pengguna utama lingkungannya, yang seharusnya dijadikan kilas balik karena telah dibesarkan dan hidup berabad-abad di muka bumi. Kenyataannya pula, manusia telah membuatnya sebagai titik balik yang justru merusak lingkungan hidup sebagai penopang utama kehidupan bumi.

Persoalan bumi dan lingkungan hidup adalah persoalan hidup manusia, berarti juga berbicara keberadaan dan tindak lanjut hidup manusia di dunia, sehingga dari persoalan lingkungan itu manusialah yang harus bertanggung jawab pada keberadaan serta kelangsungan bumi dimasa yang akan datang. Sebab sudah sepantasnya kalau manusia yang hidup di muka bumi, manusia pulalah yang harus menyelamatkan bumi, rasanya naif bila kita serahkan pada hewan, atau tumbuhan-tumbuhan.

Manusia bukan hanya ”berkewajiban” untuk menjaga dan melestarikan bumi beserta lingkungan hidup yang ada di dalamnya, tetapi manusia juga ”berhak” untuk ikut berupaya menjaga seluruh ekosistem dan habitat di dalamnya. Hak itulah yang seharusnya dijadikan penyemangat umat manusia untuk melestarikan bumi ini dari kehancuran.

Cara pandang persoalan lingkungan selalu berbenturan, bahkan berseberangan dengan pemafaatan sumber daya alam yang menjadi trade mark. Pandangan yang salah, apabila masalah pelestarian lingkungan memiliki kesan tidak boleh melakukan dan pemanfaatan SDA, dalil pembenarannya adalah, masalah pelestarian lingkungan bukan berarti SDA tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan keuangan daerah, tetapi wajib memperhatikan daya dukung pada lungkungannya, sehingga dampak dari akses SDA mampu untuk memulihkan kembali kondisi dan kelestarian lingkungan hidup.

Pemerintah dan Lingkungan
Melihat kondisi kemajemukan manusia sebagai tonggak utama dalam penanganan masalah lingkungan, menjadi ujian tersendiri dalam menciptakan kondisi lingkungan hidup yang bersentuhan dengan kehidupan manusia. Sehingga menjadi sebuah persoalan tersendiri untuk mewujudkan pemerintah yang bersih yang bersinergis mewujudkan kondisi lingkungan hidup yang lestari dengan menggeneralisasikan pengelolaan lingkungan hidup melalui penjabaran kebijakan pada masyarakat agar mereka juga sadar akan makna penting lingkungan hidup melalui pendidikan yang berkelanjutan.

Sebagai ukuran konsistensi masyarakat dan pemerintah pada lingkungan hidup adalah, adanya korelasi terciptanya pemerintahan yang baik (good governance) dengan lingkungan hidup yang baik (good environment). Artinya pemerintahan bisa dikatakan good, bila mampu membuat kebijakan dan peduli pada lingkungan hidup. Mulai dari pemanfaatan sampai pada pengelolaan SDA dan lingkungan. Sebab apabila pemerintahan tidak peduli pada lingkungan hidup, maka keserakahan dan kesewenang-wenangan dalam mengeksploitasi SDA semakin tidak terkendali.

Logika ini sangat logis, mengingat pemerintahan sekarang dihadapkan pada Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sehingga kemandirian sebuah daerah saat ini ditentukan oleh pemerintahannya sendiri di daerah, kekhawatirannya adalah apabila daerah menjadi mandiri dan otonom, maka sebagai jalan satu-satunya bagi kehidupan daerah adalah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai pilar utamanya, yakni dengan memanfaatkan sebesar-besarnya SDA yang ada di daerahnya untuk kepentingan dan alasan kemandirian.

Ukuran yang konkrit adalah apabila pemerintah daerah dalam menangani SDA untuk mengejar “target” pendapatan daerah dengan baik dan benar, artinya ramah dan peduli pada lingkungan hidup, maka pemerintahan itu memiliki nilai baik (good govenance), tapi bila sebaliknya, dengan sama sekali tidak peduli pada lingkungan maka pemerintah itu adalah pemerintahan yang tidak adil, tidak demokratis, pemerintah yang berdosa dengan lingkungan, berkesimpulan pemerintah yang jelek dan kotor (bad governance).

Komoditas Lingkungan dalam Politik
Isu lingkungan dewasa ini menjadi trend, karena lingkungan hidup bisa dijual oleh negara demi kepentingan pembangunan. ”Kesadaran” negara akan lingkungan dimulai sejak adanya konvensi Rio de Janerio Brazil tahun 1992. Bahkan isu lingkungan menjadi rekomendasi Bank Dunia untuk mendapatkan bantuan. Ironisnya negara barat selalu vokal dengan kondisi lingkungan saat ini akibat kesalahan yang dilakukan dalam pengembangan industri dan teknologi, sehingga jalan satu-satunya secara politis memaksa negara berkembang agar peduli pada lingkungan sebagai penopang bumi di masa depan.

Generalisasi isu-isu lingkungan dalam dasawarsa terakhir menjadi momok bagi ketidaksiapan pemerintah kita. Hal ini bukan karena pemberlakuan undang-undang otonomi daerah saja, akan tetapi sudah dijadikan komoditas politik praktis, baik oleh partai yang berkuasa, maupun oleh para anggota legislaif. Komoditas itu selain untuk melegatimate kepentingan garis politik sekaligus sebagai senjata untuk menghantam rival politiknya dalam kapasitas permainan dan wacana politik bangsa.

Sebagian besar kerusakan lingkungan hidup karena kesalahan dalam menerapkan kebijakan dan dampak politik yang hanya mementingkan segolongan penguasa untuk melagalitas kekuasaannya. Sebagai contoh kebijakan yang dilakukan pada orde lama sampai orde baru, telah menjual SDA dan lingkungan dengan dalih untuk membiayai dana revolusi ataupun dana pembangunan (lihat kasus freepot).

Di sisi lain pembangunan ekonomi sebagai titik berat kehidupan telah berakibat pada eksploitasi besar-besaran pada SDA dengan memberikan kebebasan pada investor untuk melakukan mengeksploitasi SDA, mulai dari perusakan hutan dengan sistem HPH (Hak Pengelolaan Hutan) sampai dengan penambangan yang tidak ramah lingkungan dan lain sebagainya. Pemerintah telah sewenang-wenang, terutama pada hak-hak rakyat dengan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan pemerintah yang kuat, walaupun dengan mengorbankan SDA dan lingkungan.

Untuk itu maka pemerintahan saat ini dengan undang–undang otonomi daerah, hendaknya benar-benar merupakan ”alat pembersih” bagi pemerintah, karena otonomi daerah bukan untuk membagikan gula-gula manis yang hanya akan menciptakan raja-raja kecil, akan tetapi lebih pada pembagian kekuasaan, penerapan demokratisasi, desentralisasi dan dehumanisasi, agar tidak menjadi pemerintahan yang sentralistik.

Penerapan undang-undang otonomi daerah sekaligus untuk mengukur praktek-praktek hogemony rakyat dalam memanfaatkan SDA di daerah yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, sekaligus untuk mengukur pemerintahan yang bersih dari dosa-dosa lingkungan hidup. Yang menjadi persoalannya adalah, kesiapan lembaga-lembaga pemerintah yang belum optimal dalam ikut berupaya menciptakan keserasian lingkungan hidup.

Diantaranya adalah, pertama: Peran eksekutif daerah masih apatis dan skeptis pada lingkungan hidup. Walaupun dalam pengelolaan SDA melalui perencanaan, namun perencanaan yang dilakukan adalah bersifat teknis dan politis. Artinya SDA hanya dijadikan komoditas sesaat untuk menutupi kebutuhan daerah. Sedang perencanaan secara lingkungan hampir pasti tidak dilaksanakan, sehingga akan terjadi eksploitasi pada SDA yang tidak diimbangi dengan eksplorasi lingkungan hidup.

Kedua, peran legislatif, kesulitannya walaupun anggota dewan memiliki arti yang strategis tetapi belum dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mapan, karena hitungannya selalu dengan rumus poltik, sehingga bila divariabelkan dengan angka, terlebih peran lembaga ini dalam kenyataannya selalu diguncang dan tidak lepas dengan money politic dalam menjalankan fungsinya. Lebih parah lagi legislatif sebagai lembaga kontrol, dari 30 orang yang duduk di DPRD TK II paling hanya 2 sampai 3 orang saja yang tahu tentang lingkungan hidup.

Ketiga, peran yudikatif, dimana sistem hukum dan peradilan Indonesia belum mendukung kemandirian dan supremasi hukum, yang ada. Lembaga yudikatif banyak yang memerankan sebagai eksekutif, sehingga sebagai sebuah lembaga yang mandiri dalam penegakan hukum menjadi mandul dan tidak berdaya. Apapun katalisatornya dalam sebuah negara yang belajar arti demokrasi, kekuatan masing-masing lembaga pemerintahan menjadi penting, sebab lembaga-lembaga itulah sebagai pionir untuk mewujudkan dan mendidik masyarakat agar lebih mandiri transparan, demokratis dan jujur.

Di samping euforia kebebasan berserikat dimasyarakat akan menjadi bagian pula untuk melakukan koreksi pada ketiga lembaga pemerintahan tersebut, yakni dengan banyaknya stakeholder/LSM dalam melakukan sparing patner sekaligus sebagai presuare group pada ketiga kekuatan tersebut dalam menjalankan kebijakan pemerintahanya. Sehingga akan terwujut kebijakan penanganan lingkungan secara proposional sebagai pemerintahan yang bersih, transparan, sebagai implementasi dari pemerintahan yang baik. Walaupun kemungkinan perjalannya agak lambat, dengan kekuatan monitoring dan evaluasi dari forum-forum warga tersebut akan dapat merwujudkan good governance sekaligus ukuran dari good environment. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Satu Jiwa Satu Pohon Antar Raih Kalpataru

HALAMAN rumahnya di Perumahan Bromo Permai, Jl. Kinibalu I/22, Kel. Ketapang, Kec. Kademangan, Kota Probolinggo tidak terlalu luas. Namun sejumlah tanaman keras dan bebungaan tampak tumbuh subur. Sebuah instalasi pengolahan kompos sederhana terletak di pojok teras. Bukan sepetak tanaman dan pengolahan kompos itu yang mengantarkan Bu Endang –demikian murid-murid di SMAN 1 memanggilnya, meraih penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan. Areal yang selama ini menjadi perhatian sekaligus bidang garapnya jauh lebih luas yakni, kawasan pantai utara. Juga sejumlah sekolah di Kota Probolinggo hingga di Surabaya. Keprihatinan Endang terhadap rusaknya ekosistem pantai terbersit sejak 1991 silam. Saat itu, guru biologi dan pendidikan lingkungan di SMAN 2 mendampingi suaminya, Matno yang menjadi Lurah Ketapang.

Kebetulan Ketapang merupakan salah satu kelurahan di Kota Probolinggo yang mempunyai garis pantai selain Pilang, Sukabumi, Mayangan, dan Mangunharjo. “Istri sering saya ajak blusukan ke kawasan pantai, mengunjungi rumah-rumah nelayan,” ujar Matno. Endang mengaku prihatin karena sebagian garis pantai gundul, tidak ada tanamannya. Bersama suaminya, ia kemudian mengumpulkan warga terutama nelayan agar mau peduli terhadap rusaknya mangrove (Phiziphora) di Ketapang. “Karena suami saya lurah, memudahkan saya mengumpulkan warga di balai kelurahan,” ujarnya.

Tidak hanya warga Ketapang yang dikumpulkan. Para nelayan dari sejumlah desa yang selama ini menambatkan perahu di pantai Ketapang pun diajak memperhatikan mangrove. ’’Awalnya memang tidak mudah mempengaruhi warga soal pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan,” ujar Endang. Melalui berbagai pertemuan, Endang pun membeberkan fungsi hutan mangrove sebagai sabuk hijau yang melindungi pantai dari abrasi (pengikisan). Juga dijelaskan, hutan mangrove yang lestari memberikan nilai tambah bagi warga dan nelayan. Soalnya, hutan mangrove menjadi tempat berkembang biaknya ikan dan udang. “Saya katakan, kalau mangrovenya rimbun, nelayan tidak sulit mencari ikan, kepiting, dan udang,” ujarnya.

Endang mengaku semakin bersemangat setelah melakukan studi banding di Sawungkuwuh, Bali, yang hutan mangrove-nya terawat dengan baik. Difasilitasi JICA Jepang, hutan mangrove di Sawungkuwuh yang terdiri atas 1.200 jenis tanaman tumbuh subur. Sebenarnya di pantai Probolinggo jenis mangrove-nya juga beragam. Bahkan ada jenis mangrove bogem yang buahnya besar. ’’Saat saya masih menjadi lurah, sejumlah warga terkadang mengonsumsi buah mangrove bogem itu sebagai pengganti nasi,” ujar Matno.

Memang sempat muncul cibiran, hanya warga yang kelaparan (miskin) yang makan nasi dari buah mangrove. Untuk menghilangkan perasaan minder mengonsumsi buah mangrove, Endang menggandeng sejumlah warga untuk mengolah buah mangrove menjadi jajanan dan minuman. ’’Kebetulan ada warga Ketapang namanya Bu Lis, yang pandai mengolah buah mangrove menjadi kue, kolak, dan sirup,” ujar Endang.

Antar Adiwiyata
Tidak hanya kepada warga, Endang pun gencar mengajak murid-muridnya di SMAN 2 menanam mangrove. Melalui program bertajuk ’’sajisapo” (satu jiwa satu pohon), Endang mengajak semua orang rajin menanam pohon, di mana saja. Program ini kemudian dikembangkan di kalangan guru menjadi ’’sagusapo” (satu guru satu pohon). Endang pun berhasil mengantarkan SMAN 2 meraih penghargaan Adiwiyata (sekolah berwawasan lingkungan) tiga tahun berturut-turut. Aktivitas Endang semakin padat dengan membina lingkungan di SMAN 2, SMAN 1, dan SMAN 4.

Ketekunan guru yang sejak 2009 lalu pindah ke SMAN 1 Kota Probolinggo berbuah manis. Ia meraih penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, 8 Juni lalu. Bersama siswa dan masyarakat, Endang berhasil menanam 20 ribu mangrove. Maret 2010 lalu, Endang bersama petani yang tergabung dalam Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kota Probolinggo juga menanam 5 ribu mangrove. Keberhasilan mengantarkan SMAN 2 meraih Adiwiyata membuat SMA PGRI Surabaya meminta Endang menjadi pembina lingkungannya. “Tidak hanya sekadar teori, para siswa SMA PGRI saya ajak menanam mangrove di pantai Tambakwedi, Surabaya,” ujarnya.

Sejumlah murid dan guru sempat ragu, apakah pantai Tambakwedi bisa ditanami mangrove. "Pokoknya tanam saja, kalau mati tanami lagi, akhirnya berhasil menanam 30 ribu mangrove di Tambakwedi," ujar Endang. Bagi Endang menanam mangrove di pantai jauh lebih mudah dibandingkan reboisasi di kawasan lain. Di pantai, tidak perlu menggali tanah, pohon mangrove bisa langsung dibenamkan ke dalam lumpur. Tanaman mangrove juga tidak perlu disiram karena tumbuh di kawasan pasang-surut.

’’Yang repot paling-paling hanya harus berjalan di lumpur di tepi pantai,” ujar Endang. Meski demikian, mangrove yang ditanam harus dicek tiga bulan kemudian atau paling lambat setengah tahun. Dari sekian mangrove yang ditanam, biasanya yang potensial hidup sekitar 60-70%. Mangrove kecil biasanya mati karena faktor alam seperti hempasan gelombang dan serangan tiram. “Kalau ada tanaman mati, segera ganti dengan tanaman baru,” ujarnya.

Ditanya apakah kondisi hutan mangrove di Probolinggo sekarang sudah bagus, Endang mengatakan, belum menyeluruh. ’’Masih banyak kawasan pantai yang gundul, sebagian mangrove juga rusak,” ujarnya. Yang jelas Endang bersama suaminya, mengaku, akan terus menanam pohon terutama mangrove. Namun tugas sebagai guru, demikian juga Matno sang suami yang PNS di Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Probolinggo tetap diutamakan. ’’Mungkin kalau nanti pensiun, saya dan suami lebih punya banyak waktu,” ujar perempuan kelahiran 24 Agustus 1960 silam itu. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Kirap Adipura Dan Adiwiyata Mandiri SMADA Probolinggo

Kebanggan meraih Adipura, Adiwiyata mandiri, Adiwiyata dan Kalpataru dirasakan warga Probolinggo terutama SMA Negeri 2 Probolinggo. Kemarin di Kota Probolinggo dilaksanakan kirab untuk memamerkan piala hasil prestasi lingkungan itu. "Alhamdulillah sudah keempat kalinya. Kota Probolinggo berada di peringkat ketiga untuk kategori kota sedang. Semoga dengan semangat kebersamaan tahun depan bisa meraih Adipura peringkat pertama," tegas Buchori disambut tepuk tangan dan masyarakat yang memadati jalanan di depan kantor Wali Kota Jl Panglima Sudirman.

Banyak pihak yang terlibat dalam kirab piala Adipura pada Sabtu (12/6) sore kemarin. Wali Kota Buchori dan istrinya Rukmini Buchori berada di atas mobil Strada bernopol N 8000 SE. Di atas mobil itu terdapat piala Adipura yang menjadi kebanggaan. Di belakang mobil pembawa Adipura ada piala Adiwiyata Mandiri dari SMADA probolinggo dan adiwiyata dari masing-masing sekolah juga Kalpataru yang diraih Endang Sulistyowati mantan Guru SMADA Prob. Disusul sejumlah komunitas bersepeda seperti Kosela dan Zoek Blosoek, mobil Wawali Bandyk Soetrisno dan muspida, termasuk siswa dan siswi SMADA Proling.

Lebih dari lima ribu orang ikut dalam iringan kirab tersebut. Sementara siswa dari sekolah yang dilalui kirab sudah bersiap di depan sekolah sambil membawa bendera merah putih berukuran kecil. Rute kirab dari kantor wali kota melewati Jl Panglima Sudirman - Jl Lumajang - Jl Sunan Ampel - Jl Slamet Riyadi - Jl Kapuas - Jl Brantas - Jl Sukarno Hatta - Jl Panglima Sudirman dan finish kembali di kantor wali kota. Jarak yang ditempuh sekitar satu jam. Tepat pukul 16.00 rombongan sudah kembali ke start. Selamat and Congratulation..! Sumber Berita
Baca Selengkapnya...

Penyambutan Piala Adipura dan Adiwiyata Kota Probolinggo

"Keanekaragaman Hayati, Masa Depan Bumi Kita. Many Species, One Planet, One Future." Itulah bunyi spanduk yang terpasang di depan Kantor Pemkot Probolinggo pagi itu. Untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) yang jatuh pada hari Rabu tanggal 5 Juni 2010 kemarin, sekaligus merayakan keberhasilan meraih Piala Adipura, Pemkot Probolinggo mengadakan apel pagi penyambutan Piala Adipura, Adiwiyata dan Kalpataru di halaman kantor Pemkot Probolinggo. Apel ini dihadiri oleh seluruh jajaran di lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo, unsur pimpinan DPRD Kota Probolinggo beserta anggota, unsur MUSPIDA Kota Probolinggo serta para petugas kebersihan.

Hujan gerimis yang sempat mewarnai suasana di pagi itu tidak menghalangi ratusan peserta dari berbagai Satker di lingkungan Pemkot Probolinggo untuk menghadiri apel tersebut. Penulis, yang juga hadir bersama beberapa rekan guru dari SMKN 1 Probolinggo dan sekolah-sekolah penerima penghargaan lainnya, sempat merasa cemas melihat mendung gelap yang menggantung di atas langit Kota Probolinggo. Beruntunglah hujan gerimis tidak berlangsung lama. Kira-kira pukul 7 pagi, Bapak Walikota, H.M. Buchori, beserta istri dan perwakilan dari sekolah penerima penghargaan Adiwiyata, tiba di tempat upacara dengan membawa penghargaan Adiwiyata dan Kalpataru. Kedatangan mereka disambut dengan aksi karyawan BLH (Badan Lingkungan Hidup) menampilkan Tari Keranjang, yang melambangkan kebersamaan dalam gerakan kebersihan lingkungan.

Ratusan peserta apel yang terdiri dari wakil-wakil dari berbagai Satker tidak ingin menyia-nyiakan tontonan gratis ini, dan spontan membalikkan badan ke arah jalan dimana para penari sedang beraksi. Barisan kembali tertib saat Bapak Walikota Probolinggo secara resmi membuka apel pagi tersebut. Pada sambutannya, H.M. Buchori menyampaikan pesan dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa bila ada warga yang selalu merusak mangrove & hutan air payau, agar ditindak tegas, sambil menoleh kepada Kapolresta Probolinggo dan dijawab dengan anggukan kepala.

Pemerintah dan masyarakat kota Probolinggo patut berbangga karena kota Probolinggo sanggup mempertahankan penghargaan Adipura selama 4 kali berturut-turut. Prestasi yang juga cukup membanggakan adalah tahun ini kota Probolinggo menduduki ranking III nasional untuk kategori kota sedang yang diikuti oleh 250 kab/kota di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk rangking I nasional diraih oleh Tulungagung, dan rangking II nasional diraih oleh Jepara. ”Mudah-mudahan tahun depan, dengan semangat kebersamaan, bukan hanya rangking III tapi kita raih rangking pertama tingkat nasional” tegas H.M. Buchori dan disertai tepuk tangan dari peserta apel.

Secara lengkap, Ragam Penghargaan yang diterima Kota Probolinggo Tahun 2010 adalah Adipura (Kota Probolinggo), Kalpataru (Endang Sulistyowati, guru Biologi SMAN 1 Kota Probolinggo), Adiwiyata Mandiri (SMAN 2 Kota Probolinggo), serta Piala Adiwiyata (SMKN 1 Kota Probolinggo, SMAN 4 Kota Probolinggo dan SDN Mangunharjo 6). Untuk kategori perorangan, penghargaan Kalpataru diterima oleh ibu Endang Sulistyowati, sekarang guru Biologi di SMAN 1 Probolinggo atas kepeduliannya terhadap hutan Mangrove bagi kelestarian dan keseimbangan alam.

Sebelum menutup sambutannya, Walikota Probolinggo, mengucapkan terima kasih kepada masyarakat, utamanya kepada Pedagang Kaki Lima (PKL) karena ikut andil dalam menjaga lingkungan sehingga Kota Probolinggo dapat mempertahankan Penghargaan Adipura. Dia berpesan kepada para wakil PKL agar menjaga lingkungan yang bersih, "selesai buka usaha bersihkan sekitarnya, jangan selalu membebani Pemerintah. Saya percaya, bapak-bapak ikut membantu teraihnya adipura ini” tutupnya. Kalimat beliau yang menandakan gaya kepemimpinan yang egaliter menyiratkan kepedulian dan kedekatan dengan segenap lapisan masyarakat, bahkan para PKL sekalipun. Pesan mendalam yang beliau sampaikan adalah bahwa prestasi kota Probolinggo bukanlah hanya milik Pemerintah saja, tapi juga milik seluruh lapisan masyarakat kota Probolinggo, dan mustahil bisa terwujud tanpa adanya kepedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan di kota Probolinggo.

Satu hal yang cukup menarik perhatian peserta apel di ujung acara tersebut adalah pelepasan puluhan burung berkicau ke alam bebas. Puluhan burung yang telah sekian lama terkurung di dalam sangkar tampak mengalami kesulitan ketika harus beradaptasi dan terbang di alam bebas. Sebagian besar burung-burung tersebut hanya mampu terbang sejauh puluhan meter dan kemudian hinggap di atas pohon-pohon rindang di sekitar kantor Pemkot. Bahkan seekor burung hinggap di dahan tepat di atas penulis. Penulis berharap semoga burung-burung tersebut bisa betah dan bersarang di pohon-pohon sekitar agar dapat menambah keasrian alam kota Probolinggo. Semoga. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...
Informal Meeting Forum (IMF)
Dewan Pembangunan Berkelanjutan (DPB)
Forum Jaringan Manajemen Sampah (FORJAMANSA)
Paguyuban Eco Pesantren
Paguyuban Kader Lingkungan (PAKERLING)
Paguyuban Putri Lingkungan (PUTLING)
Kelompok Masyarakat Pemilah Sampah (POKMAS)
Paguyuban Peduli Sampah (PAPESA)
Penyandang Cacat Peduli Lingkungan Kota Probolinggo (PECEL KOPROL)
Komunitas Pelestari Keanekaragaman Hayati (KOMTARI KEHATI)
Paguyuban Penarik Gerobak Sampah Cekatan Riang Inovatif Amanah (PGS CERIA)
Paguyuban Abang Becak Peduli Lingkungan (ABPL)

Pencarian Artikel

Jumlah Kunjungan

About Me

My photo
By the middle of 2005, the management of environment in Probolinggo city was implemented by 2 (two) units which were subdivision for public cleaning services and parks of Public Works Agency of Probolinggo City and the Office of Environment of Probolinggo City. But in August 2005, considering to the aspects of effectiveness in administration, coordination, budget management dan program operations, then those two units were merged into 1 (one) new governmental institution namely the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City. Then, in accordance to the institutional restructure of central and regional government, on July 1st 2008, the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City was changed into the Environment Agency (BLH) of Probolinggo City.