BLH Kota Probolinggo    "SI JUPPE"   S emangat,  I novatif,  J u jur,  P rofesional,  P e duli

Pengolah Sampah Yang Mengembik

Truk sampah itu bersiap memuntahkan isi lambungnya. Bergegas ratusan kambing mengejar dan berebut hidangan istimewa hari itu. Tak jarang kambing-kambing itu teler karena tertimpa sampah yang dituang dari truk-truk berbau basin. Di antara kambing-kambing itu, puluhan pemulung sibuk mengais sampah. Mereka tak pernah berebut. Sebab, kambing mengejar sampah basah, sedangkan pemulung berebut sampah kering. Pemandangan itu bisa dilihat setiap hari di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Sukabumi, Kota Madya Probolinggo, Jawa Timur. Kambing di sana memang tak terbiasa makan rumput. Menu sehari-harinya antara lain wortel, brokoli, kentang. Bahkan mi goreng atau capcai pun mereka kunyah. Sampah segar itu berasal dari restoran, pasar, dan rumah tangga. Menu bergizi tinggi dan kaya vitamin itu membuat mereka lebih gendut dari rata-rata kambing yang biasa menelan rumput.

Mesin pengolah sampah yang mengembik itu membuat Pemerintah Daerah Kota Madya Surabaya tergiur mencontohnya. Sabtu lalu, rencananya, Gubernur Jawa Timur akan menyerahkan 200 ekor sapi untuk penduduk sekitar TPA Benowo. Wajar jika Pemerintah Kota Surabaya tergiur untuk mencontoh Kota Probolinggo dalam mengatasi sampah. "Kambing-kambing itu menghabiskan seperempat jumlah sampah di TPA ini," kata Achmad Nurdin, Koordinator Kebersihan di Subdinas Kebersihan Kota Probolinggo. Akibatnya, TPA seluas empat hektare itu, yang setiap harinya menerima tambahan 256 meter kubik sampah, setelah dipakai delapan tahun belum tampak menggunung. Bukan hanya sampah berkurang, kambing Sukabumi ini juga terkenal gemuk-gemuk. " Belum pernah saya punya kambing segemuk ini sebelum TPA ada," tutur Ibu Siswadi. Wanita berumur 50 tahun itu mengaku sudah angon (menggembala) kambing sejak 35 tahun lalu. Sejak TPA Sukabumi dibuka delapan tahun lalu, dia memindahkan kambingnya ke lokasi tersebut. Lebaran haji bulan depan dia bisa panen. Sebab, sebagian besar dari 25 ekor kambing miliknya sudah cukup layak dijual. Kambing di sekitar TPA terkenal lebih mahal daripada kambing lain di Kabupaten Probolinggo.

Pemerintah Kota Malang, masih di Jawa Timur, punya cara lain. Di kota sejuk ini cacing disebarkan ke TPA untuk mempercepat pembusukan sampah basah menjadi kompos. Kompos ini kemudian mereka padatkan menjadi batako. Sementara itu, untuk mengurangi populasi cacing yang berkembang cepat, disebarkan ayam. Satu lagi cara kuno mengurangi sampah ada di TPA Sawung, Denpasar, Bali. Sejak tiga tahun lalu TPA Sawung menjadi "pujasera" untuk 60 ekor sapi dan puluhan kambing. Sebagai penyedap rasa, sampah basah itu mereka campur dengan mikroorganisme efektif untuk mempercepat proses peragian. Dr. Ngurah Wididana mengambil resep ramuan penyedap rasa ini dari hasil temuan Prof. Teruo Higa dari Jepang. Menurut Ngurah, yang mengelola ternak sampah itu, sampah berbumbu itu mampu menggenjot berat badan sapi sekitar satu kilogram setiap hari. "Ternak juga lebih tahan penyakit," ujar Wididana.

Sampah organik yang dicampur mikroorganisme ini juga dimanfaatkannya menjadi pupuk. Masalahnya, apakah pengolahan sampah seperti di Bali atau Probolinggo itu bisa diterapkan di Jakarta dan Surabaya? Masalah sampah di dua kota terbesar kita ini memang lebih rumit. Selain jumlahnya yang sangat besar, TPA yang ada sudah tak mampu lagi menampungnya. Masalahnya, hingga kini belum tampak upaya pengolahan sampah selain mengumpulkan dan membuang di satu lokasi. Seperti di Surabaya, masyarakat sekitar TPA Keputih sudah menolak setiap kehadiran truk sampah. Akibatnya, pemerintah kota harus menyiapkan lahan baru di Benowo, Gresik. Di lokasi baru inilah sapi bantuan gubernur itu akan menjadi mesin pengolah sampah dari 80 pasar di Surabaya. Antoro Hendra Sanjaya mengakui jumlah sapi tersebut belum mencukupi untuk menyelesaikan persoalan sampah Kota Surabaya. "Sebab, sapi paling hanya makan seperseluh dari berat badannya," kata Wakil Ketua Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Jawa Timur ini. Namun dua tahun mendatang sapi ini diharapkan berkembang biak dan bisa digulirkan untuk penduduk lain.

Setiap harinya Kota Surabaya membuang 8.000 meter kubik sampah. Sapi-sapi itu diharapkan melahap sekitar 40 persen sampah segar. Sementara itu, sisanya selain untuk pemulung juga akan dibakar menggunakan incinerator mini. Sayangnya hingga kini Surabaya baru memiliki dua unit incinerator. "Kalau setiap kecamatan sudah punya incinerator mini, sampah yang dikirim ke TPA bisa banyak berkurang," Antoro berangan-angan. Masalahnya, sebuah incinerator, yang hanya mampu mengurangi 20 persen sampah, harganya mencapai Rp 1 miliar. Lain Surabaya, lain pula di Jakarta. "Sistem kumpul, angkut, dan buang sampah di Jakarta sudah harus ditinggalkan," kata Rama Boedi, Wakil Kepala Dinas Kebersihan Jakarta. Saat ini Dinas Kebersihan mulai melirik sampah sebagai peluang. Mereka pun bergegas mengundang pihak swasta. " Setidaknya, kami sudah punya dua investor yang berminat," kata Rama. Salah satunya sebuah perusahaan dari Kanada yang kini sedang melakukan studi kelayakan. Perusahaan ini nantinya akan mengolah sampah basah menjadi pelet.

Dinas kebersihan selain berperan sebagai pemasok bahan baku, juga akan membayar biaya proses pengolahannya. Pelet ini nantinya bisa dijual sebagai pakan ternak dan ikan. Selain itu, sebuah perusahaan dalam negeri sudah menawarkan untuk memproses sampah menjadi bahan timbunan. Caranya, sampah basah maupun kering mereka kumpulkan dan dibungkus. Kemudian sampah itu dimampatkan hingga berbentuk batuan serupa batako. Rama menjamin, sampah dalam bentuk padat ini tak lagi berbau busuk dan mengeluarkan air. Dengan dua cara tersebut, menurut Rama, masalah sampah di Jakarta bisa terselesaikan. " Bahkan saya yakin Jakarta akan kekurangan sampah untuk bahan pelet dan batu timbunan," kata Rama. Bukan hanya yang baru, sampah di Bantargebang yang sempat diributkan pun punya potensi menghasilkan uang yang cukup besar. Sampah yang umurnya lebih dari sepuluh tahun itu merupakan bahan kompos berkualitas tinggi.

Pemerintah Kota Jakarta dan Surabaya boleh saja berandai-andai. Masalahnya, apakah masyarakat bisa membiasakan diri membuang sampah kering dan sampah basah secara terpisah. Menurut ahli perkotaan Prof. Eko Budiharjo, sejak dari rumah sampah logam harus dipisahkan dari sampah kaca, dan sampah kertas. Kemudian sampah basah juga mendapat tempat berbeda. Sampah-sampah itu juga harus diangkut ke lokasi penimbunan yang berbeda pula. "Kalau sekarang ini istilahnya nututi layangan pedhot (mengejar layang-layang putus)," kata Rektor Universitas Diponegoro, Semarang, kepada Ecep S. Yasa dari TEMPO. Penanganan sampah kota besar di Indonesia baru dipikirkan setelah muncul masalah seperti saat ini. Seharusnya saat populasi manusia suatu kota mencapai satu juta, harus segera dilakukan proses daur ulang. Untungnya di Indonesia kota-kota besar memiliki kota antara di sekitarnya. Seperti Jakarta mempunyai Bekasi dan Tangerang, kemudian Surabaya dengan Gresik dan Sidoarjo, atau Semarang dengan Kendal dan Demak. Namun saat ini kota-kota antara tersebut mulai menolak menjadi tempat sampah. Mau tak mau pemerintah kota harus memproses sampah dengan mesin pendaur ulang. "Investasinya memang tinggi, tetapi kalau mau berpikir ke depan bisa memberi keuntungan besar," tambah Eko. Sumber Berita
Baca Selengkapnya...
Informal Meeting Forum (IMF)
Dewan Pembangunan Berkelanjutan (DPB)
Forum Jaringan Manajemen Sampah (FORJAMANSA)
Paguyuban Eco Pesantren
Paguyuban Kader Lingkungan (PAKERLING)
Paguyuban Putri Lingkungan (PUTLING)
Kelompok Masyarakat Pemilah Sampah (POKMAS)
Paguyuban Peduli Sampah (PAPESA)
Penyandang Cacat Peduli Lingkungan Kota Probolinggo (PECEL KOPROL)
Komunitas Pelestari Keanekaragaman Hayati (KOMTARI KEHATI)
Paguyuban Penarik Gerobak Sampah Cekatan Riang Inovatif Amanah (PGS CERIA)
Paguyuban Abang Becak Peduli Lingkungan (ABPL)

Pencarian Artikel

Jumlah Kunjungan

About Me

My photo
By the middle of 2005, the management of environment in Probolinggo city was implemented by 2 (two) units which were subdivision for public cleaning services and parks of Public Works Agency of Probolinggo City and the Office of Environment of Probolinggo City. But in August 2005, considering to the aspects of effectiveness in administration, coordination, budget management dan program operations, then those two units were merged into 1 (one) new governmental institution namely the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City. Then, in accordance to the institutional restructure of central and regional government, on July 1st 2008, the Agency of Public Cleaning Services and Environment (DKLH) of Probolinggo City was changed into the Environment Agency (BLH) of Probolinggo City.